MODUL MATAKULIAH KEWIRAAN TEKNIK INFORMATIKA

MODUL MATAKULIAH KEWIRAAN
TEKNIK INFORMATIKA

OLEH :
FAIK RAHIMI, SH., MH.
AKADEMI MANAJEMEN INFORMATIKA DAN KOMPUTER
AMIK “AKMI” BATURAJA
TAHUN 2016
ii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto :
Tuntutlah ilmu, sungguh dia “Kan menghiasi dirimu”
dia utama dan pertanda segala pujaan. (Ibnul Hasan bin Abdullah)
Sebaik-baik manusia di antaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain.
(HR. Bukhari dan Muslim)
Persembahan :
Kupersembahkan Modul ini dengan hati yang tulus dan ikhlas kepada seluruh civitas
akademik Akademi Manajemen Informatika dan Komputer AMIK “AKMI” Baturaja atas
kepercayaannya memberikan tugas untuk mengajar anak didik.
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan yang telah melebihkan manusia dengan
ilmu dan amal atas semesta alam. Sholawat semoga melimpah tercurah pada
junjungan Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabat beliau
yang merupakan sumber ilmu pengetahuan dan hikmah. Modul Mata Kuliah
Kewiraan ini merupakan buku standar referensi bahan ajar di Akademi
Manajemen Informatika dan Komputer AMIK “AKMI” Baturaja-Ogan Komerin
Ulu.
Modul ini membahas tentang Pengantar pendidikan kewiraan, wawasan
nusantara, ketahanan nasional, politik dan strategi nasional, politik dan
strategi pertahanan keamanan nasional, sistem pertahanan rakyat semesta dan
undang-undang otonomi daerah.
Dalam penyusunan modul ini, tentu saja penulis tidak lepas dari doa,
bantuan, dorongan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada
kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih terutama kepada
Akademi Manajemen Informatika dan Komputer AMIK “AKMI” Baturaja-Ogan
Komerin Ulu atas kepercayaannya memberikan tugas untuk mengajar.
Do’a penulis kiranya Allah SWT membalas budi baik semuanya dengan
cinta dan karunia-Nya amien. Akhirulkalam, dengan penuh ikhtiar dan rasa
rendah hati, penulis menyadari bahwa modul ini mungkin masih jauh dari
sempurna, untuk itu, kritik dan saran yang konstruktif, senantiasa dibuka untuk
upaya perbaikan modul ini, penulis berharap semoga modul ini dapat
memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi kita semua.
OKU, 12 Januari 2016
Penulis
ttd
Faik Rahimi, S.H., M.H.
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………..i
HALAMAN MOTTO DAN PEREMBAHAN ……………………………………ii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………….iii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………….iv
BAB I MEMAHAMI PENDIDIKAN KEWIRAAN DI PERGURUAN
TINGGI…………………………………………………..........………………….……1
A. Hakikat dan Rasional Pendidikan Kewiraan ……………………1
B. Pendidikan Kewiraan dalam Kurikulum Nasional …………………4
C. Pendidikan Kewiraan Persekolahan ……………………………………5
D. Pendidikan Kewiraan sebagai Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian …………7
BAB II IDENTITAS NASIONAL …………………………………………………14
A. Pengertian Identitas Nasional ……………………………………………14
B. Konsep Bangsa Indonesia …………………………………………………16
C. Faktor-faktor Pembentuk Identitas Nasional ………………………………22
D. Identitas Nasional Indonesia……………………………………………………25
BAB III HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA ………………………..28
A. Konsep Warga Negara dan Kewarganegaraan …………………………28
B. Asas-asas Kewarganegaraan …………………………………………………34
C. Persoalan Kewarganegaraan ………………………………………………37
D. Perolehan dan Kehilangan Kewarganegaraan ……………………………40
E. Hak dan Kewajiban Warga Negara …………………………………………44
BAB IV DEMOKRASI………………………………………………………………47
A. Pengertian Demokrasi …………………………………………………..47
B. Demokratisasi ……………………………………………………………………54
C. Landasan Pengembangan Demokrasi ………………………………………61
v
BAB V NEGARA DAN KONSTITUSI …………………………………………63
A. Pengertian Negara ……………………………………………………………63
B. Unsur-unsur Negara ………………………………………………………65
C. Sifat-sifat Negara ……………………………………………………………67
D. Fungsi dan Tujuan Negara …………………………………………68
E. Pengertian Konstitusi ………………………………………………………70
F. UUD 1945 dan Perubahannya ………………………………………………….75
BAB VI HAK ASASI MANUSIA…………………………………………………94
A. Konsep Dasar Hak Asasi Manusia ………………………………………94
B. Kategori Hak Asasi Manusia ……………………………………………98
C. Prinsip-prinsip Pokok Hak Asasi Manusia ……………………………102
D. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia ………………………………104
E. Hak Asasi Manusia dan Gagasan Hak Asasi Manusia dalam UUD
1945………….……………………………………………………………………107
BAB VII SISTEM PEMERINTAHAN DAN OTONOMI DAERAH ………..109
A. Karakteristik Sistem Pemerintahan ………………………………………109
B. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial ………………………110
C. Sistem Pemerintahan dan Indonesia …………………………………………112
D. Otonomi Daerah ……………………………………………………………113
BAB VIII WAWASAN NUSANTARA………………………………………….117
A. Konsep Geopolitik……………………………………………………………….117
B. Wawasan Nusantara sebagai Wawasan Nasional Indonesia…………………….119
C. Landasan Wawasan Nusantara Indonesia……………………………………….120
BAB IX KETAHANAN NASIONAL ……………………………………………122
A. Geostrategi dan Geostrategi Indonesia ……………………………………122
B. Model-model Ketahanan Nasional …………………………………………124
C. Ketahanan Nasional sebagai Perwujudan Geostrategi Indonesia ………125
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………137
1
BAB I
MEMAHAMI PENDIDIKAN KEWIRAAN DI PERGURUAN TINGGI
A. Hakikat Dan Rasional Pendidikan Kewiraan
Pendidikan Kewiraan adalah terjemahan dari istilah asing civic
education atau citizenship education. Terhadap dua istilah ini, John C. Cogan
telah membedakan dengan mengartikan civic education sebagai “...the
foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active
role in their communities in their adult lives” (Cogan, 1999:4), atau suatu mata
pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga
negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam
masyarakatnya. Sedangkan citizenship education digunakan sebagai istilah
yang memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup “...both these inschool
experiences as well as out-of school or non-formal/informal learning which
takes place in the family, the religious organization, community organizations, the
media, etc which help to shape the totality of the citizen” (Cogan, 1999:4). Artinya,
pendidikan kewiraan merupakan istilah generik yang mencakup
pengalaman belaja di sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di
lingkungan keluarga, dalam organisasi keagamaan, dalam organisasi
kemasyarakatan, dan dalam media.
Di sisi lain, David Kerr mengemukakan bahwa Citizenship or Civics
Education is construed broadly to encompass the preparation of young people for their
roles and responsibilities as citizens and, in particular, the role of education (through
schooling, teaching and learning) in that preparatory process. (Kerr, 1999:2).
Pendapat tersebut menjelaskan bahwa pendidikan kewiraan dirumuskan
secara luas mencakup proses penyiapan generasi muda untuk mengambil
peran dan tanggung jawabnya sebagai warga negara, dan secara khusus,
peran pendidikan (termasuk di dalamnya persekolahan, pengajaran, dan
belajar) dalam proses penyiapan warga negara tersebut. Untuk konteks di
2
Indonesia, citizenship education oleh beberapa pakar diterjemahkan dengan
istilah pendidikan kewiraan (ditulis dengan menggunakan huruf kecil semua)
(Somantri, 2001; Winataputra, 2001) atau pendidikan kewargaan
(Azra, 2002). untuk kepentingan penulisan modul ini kedua istilah tersebut
digunakan secara bertukar pakai sebagai Pendidikan Kewiraan.
Dari pendapat di atas, dapat dikemukakan bahwa istilah citizenship
education lebih luas cakupan pengertiannya daripada civic education. Dengan
cakupan yang luas ini maka citizenship education meliputi di
dalamnya pendidikan kewiraan dalam arti khusus (civic education). Citizenship
education sebagai proses pendidikan dalam rangka menyiapkan warga
negara muda akan hak-hak, peran dan tanggung jawabnya sebagai warga
negara, sedang civic education adalah citizenship education yang dilakukan
melalui persekolahan.
Zamroni juga telah membedakan pengertian Pendidikan Kewiraan
dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, pendidikan
kewiraan dimaknai sebagai pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk
mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak
demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru
bahwa demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling
menjamin hak-hak warga masyarakat (ICCE, 2003). Demokrasi adalah suatu
learning process yang tidak dapat begitu saja meniru dari masyarakat
lain. Kelangsungan demokrasi tergantung pada kemampuan
mentransformasikan nilai-nilai demokrasi. Sedangkan Pendidikan Kewiraan
adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana
seseorang mempelajari orientasi, sikap dan perilaku politik sehingga yang
bersangkutan memiliki poltical knowledge, awareness, attitude, political efficacy
dan political participation serta kemampuan mengambil keputusan politik
3
secara rasional dan menguntungkan bagi dirinya, masyarakat, dan bangsa
(ICCE, 2003).
Mempertegas tujuan Pendidikan Kewiraan tersebut, Cholisin (Samsuri,
2011) berpandangan bahwa Pendidikan Kewiraan merupakan pendidikan
politik yang yang fokus materinya peranan warga negara dalam kehidupan
bernegara yang kesemuanya itu diproses dalam rangka untuk membina
peranan tersebut sesuai dengan ketentuan Pancasila dan UUD 1945 agar
menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.
Sejalan dengan pendapat Cholisin di atas, Soedijarto (dalam ICCE, 2003) juga
mengartikan Pendidikan Kewiraan sebagai pendidikan politik yang
bertujuan untuk membantu peserta didik untuk menjadi warga negara yang
secara politik dewasa dan ikut serta dalam membangun sistem politik yang
demokratis.
Sementara itu, berkaitan dengan konsep Pendidikan Kewargaan, Azra
(dalam ICCE, 2003) memandang bahwa secara substantif istilah Pendidikan
Kewargaan tidak saja mendidik generasi muda menjadi warga negara yang
cerdas dan sadar akan hak dan kewajibanannya dalam konteks kehidupan
bermasyarakat dan bernegara yang merupakan penekanan dalam istilah
Pendidikan Kewiraan, melainkan juga membangun kesiapan warga negara
menjadi warga dunia (global society). Dengan demikian, orientasi Pendidikan
Kewargaan secara substantif lebih luas cakupannya daripada Pendidikan
Kewiraan. Hal ini sejalan dengan pembedaan pengertian civic education dan
citizenship education di atas.
Secara paradigmatik Pendidikan Kewiraan memiliki tiga domain,
yakni 1) domain akademik; 2) domain kurikuler; dan 3) aktivitas sosialkultural
(Winataputra, 2001). Domain akademik adalah berbagai pemikiran
tentang Pendidikan Kewiraan yang berkembang di lingkungan komunitas
keilmuan. Domain kurikuler adalah konsep dan praksis pendidikan kewiraan
4
dalam lingkup pendidikan formal dan nonformal. Sedangkan domain sosial
kultural adalah konsep dan praksis Pendidikan Kewiraan di lingkungan
masyarakat (Wahab dan Sapriya, 2011:97). Ketiga komponen tersebut secara
koheren bertolak dari esensi dan bermuara pada upaya pengembangan
warga negara yang baik (good citizens), yang memiliki pengetahuan
kewarganegaraan (civic knowledge), nilai, sikap dan watak
kewarganegaraan (civic disposition), dan keterampilan kewarganegaraan (civic
skill).
B. Pendidikan Kewiraan Dalam Kurikulum Nasional
Sistem pendidikan Indonesia mengatur bahwa dalam kurikulum
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi wajib
memuat Pendidikan Kewiraan yang dimaksudkan untuk membentuk
peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta
tanah air sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Hal tersebut dapat kita
temui dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “Kurikulum pendidikan
dasar dan menengah wajib memuat: a) Pendidikan Agama, b)
Pendidikan Kewarganegaraan, c) Bahasa…” dan “kurikulum pendidikan tinggi
wajib memuat: a) Pendidikan Agama; b) Pendidikan Kewarganegaraan;
c) Bahasa”. Pendidikan Kewarganegaraan sebagaimana dijelaskan dalam
bagian penjelasan Pasal 37 ayat (1) UU Sistem Pendidikan Nasional,
dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang
memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Adanya ketentuan tentang Pendidikan Kewarganegaraan sebagai
muatan wajib pada jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi
menunjukkan bahwa mata pelajaran/mata kuliah ini menempati kedudukan
yang strategis dalam mencapai tujuan pendidikan nasional, yaitu
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
5
dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 ayat 2 UU Sistem
Pendidikan Nasional). Bahkan dalam pandangan Winataputra (2004) secara
filosofis, sosio-politis dan psikopedagogis, Pendidikan Kewarganegaraan
memegang misi suci (mission sacre) untuk pembentukan watak dan peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan menjadikan manusia sebagai warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab.
C. Pedidikan Kewarganegaraan Persekolahan
Secara historis, Pendidikan Kewarganegaraan persekolahan (school
civic education) di Indonesia mengalami fluktuasi terutama dalam
penamaan dan konten materi. Pertama kali muncul dengan nama
Kewarganegaraan (1957), kemudian secara berturut-turut berubah menjadi
Civics (1961), Pendidikan Kewargaan Negara (1968), Pendidikan Moral
Pancasila (1975), Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (1994),
Kewarganegaraan (Uji Coba Kurikulum 2004) dan terakhir dengan nama
Pendidikan Kewarganegaraan (2006).
Dalam Standar Isi Pendidikan Kewarganegaraan sebagaimana
tertuang dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang
memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan
mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga
negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan
oleh Pancasila dan UUD 1945. Mata pelajaran ini bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan:
1. Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu
kewarganegaraan
6
2. Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab, dan bertindak secara
cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta
anti-korupsi
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri
berdasarkan karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup
bersama dengan bangsa-bangsa lainnya
4. Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia secara
langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi.
Untuk mencapai tujuan tersebut, telah disusun delapan ruang
lingkup materi Pendidikan Kewarganegaraan sebagai berikut:
a. Persatuan dan Kesatuan bangsa, meliputi: Hidup rukun dalam
perbedaan, Cinta lingkungan, Kebanggaan sebagai bangsa
Indonesia, Sumpah Pemuda, Keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Partisipasi dalam pembelaan negara, Sikap positif
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Keterbukaan
dan jaminan keadilan;
b. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan
keluarga, Tata tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat,
Peraturan- peraturan daerah, Norma-norma dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, dan Sistem hukum dan peradilan nasional;
c. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan
kewajiban anggota masyarakat, Instrumen nasional dan internasional
HAM, dan Pemajuan, penghormatan dan perlindungan HAM;
d. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga
diri sebagai warga masyarakat, Kebebasan berorganisasi,
Kemerdekaan mengeluarkan pendapat, Menghargai keputusan
bersama, Prestasi diri, dan Persamaan kedudukan warga negara;
7
e. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi
yang pertama, Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di
Indonesia, dan Hubungan dasar negara dengan konstitusi;
f. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan,
Pemerintahan daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi
dan sistem politik, Budaya politik, Budaya demokrasi menuju
masyarakat madani, Sistem pemerintahan, dan Pers dalam masyarakat
demokrasi;
g. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan
ideologi negara, Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara,
Pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, dan
Pancasila sebagai ideologi terbuka;
h. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri
Indonesia di era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan
internasional dan organisasi internasional, dan Mengevaluasi
globalisasi.
Dalam proses pembelajaran, kedelapan ruang lingkup materi
pendidikan persekolahan di atas selanjutnya diperinci ke dalam Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar.
D. Pendidikan Kewiraan sebagai Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
Sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, secara yuridis,
Pendidikan Kewiraan memiliki kedudukan yang cukup kuat, hal ini dapat
dilihat dalam Pasal 37 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa kurikulum pendidikan tinggi
wajib memuat tentang Pendidikan Kewiraan yang bertujuan untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan
dan cinta tanah air. Dengan telah dituangkannya Pendidikan Kewiraan dalam
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, ini berarti bahwa pendidikan
8
kewiraan memiliki kedudukan yang sangat strategis dalam pembentukan
nation and character building.
Secara historis, awal mulai dilaksanakannya Pendidikan Kewiraan
pada perguruan tinggi di Indonesia bertujuan untuk dapat melaksanakan
UU No. 29 Tahun 1954 tentang Sistem Pertahanan Negara. UU ini disusun
berdasarkan pengalaman masa perang kemerdekaan, pemberontakan dalam
negeri serta persiapan merebut Irian Barat. Oleh karena itu dibuat program
wajib latih bagi sivitas akademika di perguruan tinggi, yaitu Latihan
Kemiliteran Dosen dan Latihan Kemiliteran Mahasiswa (LKM), dan
Pendidikan Pendahuluan Pertahanan Rakyat yang dikenal sebagai P3R bagi
SD, SLP dan SLA.
Dalam perkembangannya, peminat LKM makin besar apalagi setelah
diperkenalkan program Wajib Latih Mahasiswa (Walawa) yang
menitikberatkan pada pendidikan fisik untuk bela negara dalam rangka
ketahanan nasional. Selanjutnya dibentuk Resimen Mahasiswa (Menwa)
yang keanggotaanya bersifat individu dan tidak terkait dengan organisasi
perguruan tinggi. Karena Menwa merupakan bagian dari pertahanan
sipil, pembinaannya dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri
(Depdagri) dan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam).
Dalam perjalanan selanjutnya, Menwa diputuskan ada pada setiap perguruan
tinggi (sebagai kegiatan ekstrakurikuler yang bersifat sukarela), sehingga
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) turut ikut membina.
Dalam pada itu, bagi mahasiswa yang tidak tergabung dalam Menwa
diberikan matakuliah Pendidikan Kewiraan yang bersifat wajib berdasarkan
Surat Keputusan Bersama (SKB) Menhankam dan Mendikbud dan berlaku
efektif sejak tahun 1974.
9
Selanjutnya, dalam ketentuan Pasal 18 dan Pasal 19 ayat (2) UU No.
20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan
Negara Republik Indonesia dinyatakan sebagai berikut:
1. Hak dan kewajiban warga negara yang diwujudkan dengan keikutsertaan
dalam upaya bela negara diselenggarakan melalui pendidikan
pendahuluan bela negara sebagai bagian tak terpisahkan dalam sistem
pendidikan nasional (Pasal 18).
2. Pendidikan pendahuluan bela negara wajib diikuti oleh setiap warga
negara dan dilaksanakan secara bertahap, yaitu:
a. pertama tahap awal pada pendidikan tingkat dasar sampai
menengah dan dalam gerakan Pramuka.
b. Tahap lanjutan dalam bentuk pendidikan kewiraan pada
tingkat pendidikan tinggi. (Pasal 19 ayat [2])
Dengan demikian, berdasarkan UU No. 20 Tahun 1982 tersebut,
Pendidikan Kewiraan didudukkan sebagai Pendidikan Pendahuluan Bela
Negara (PPBN) bagi mahasiswa, sedangkan bagi siswa pada pendidikan
dasar dan menengah mereka tergabung dalam gerakan Pramuka.
Pada tanggal 1 Februari 1985, dikeluarkan Surat Keputusan Bersama
Mendikbud dan Menhankam yang menyatakan bahwa Pendidikan Kewiraan
dimaksudkan ke dalam kelompok Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU)
pada semua perguruan tinggi. Dan sejak diundangkannya UU No. 2
Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dinyatatakan bahwa
Pendidikan Bela Negara dan Pendidikan Kewiraan termasuk dalam
Pendidikan Kewarganegaraan (Penjelasan Pasal 39 ayat [2]). Kurikulum
mata kuliah ini meliputi: 1) pengetahuan dan hubungan antara
warganegara dan hubungan warganegara dengan negara, serta 2)
Pendidikan Kewiraan/PPBN tahap lanjut, agar peserta didik menjadi warga
negara yang handal.
10
Apa sebenarnya Pendidikan Kewiraan itu? Lembaga Ketahanan
Nasional (Lemhannas) merumuskan pengertian Pendidikan Kewiraan
sebagai sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam
mengembangkan kecintaan, kesetiaan, keberanian untuk berkorban
membela bangsa dan tanah air Indonesia (Lemhannas, 1999:4). Pendidikan
Kewiraan dimaksudkan untuk memperluas cakrawala berfikir mahasiswa
sebagai warga negara Indonesia sekaligus sebagai pejuang bangsa dalam
usaha menciptakan serta meningkatkan kesejahteraan dan keamanan
nasional untuk menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara demi
terwujudnya aspirasi perjuangan nasional dengan tujuan untuk
memupuk kesadaran bela negara dan berfikir komprehensif integral
(terpadu) di kalangan mahasiswa dalam rangka ketahanan nasional.
Pada tahun 2000-an, substansi mata kuliah Pendidikan Kewiraan
sebagai pendidikan pendahuluan bela negara direvisi dan selanjutnya
namanya diganti menjadi Pendidikan Kewarganegaraan berdasarkan
Keputusan Dirjen Dikti No.267/Dikti/2000 tentang Penyempurnaan
Kurikulum Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi.
Perubahan ini dilakukan karena mata kuliah Pendidikan Kewiraan terlalu
condong atau lebih berorientasi pada aspek bela negara dalam konteks
memenuhi kebutuhan pertahanan. Sebagaimana penjelasan S. Soemiarno (tt)
bahwa muatan tentang pengetahuan dan kemampuan hubungan warga
negara dengan negara agak sulit diformulasikan sehingga meskipun dengan
nomenklatur baru, muatannya masih lebih menitikberatkan pada Pendidikan
Kewiraan. Dalam analisis Cipto, et all (2002:ix) metode pengajaran yang
diterapkan dalam Pendidikan Kewiraan lebih bersifat indoktrinatif yang
hanya menyentuh aspek kognitif, sedangkan aspek sikap dan perilaku
berlum tersentuh.
11
Memperjelas kedua pandangan tersebut, Tukiran, dkk (2009:12)
memerinci kekurangberhasilan Pendidikan Kewiraan yang disebabkan oleh
beberapa hal. Pertama, secara substantif, Pendidikan Kewiraan tidak secara
terencana dan terarah mencakup materi dan pembahasan yang lebih terfokus
pada pendidikan demokrasi dan kewarganegaraan. Materi-materi yang ada
umumnya terpusat pada pembahasan yang idealistik, legalistik, dan
normatif. Kedua, kalaupun materi-materi yang ada pada dasarnya potensial
bagi pendidikan demokrasi dan PKn, potensi itu tidak berkembang karena
pendekatan dan pembelajarannya bersifat indoktrinatif, regimentatif,
monologis dan tidak partisipatif. Ketiga, ketiga subjek itu lebih bersifat
teoretis daripada praktis.
Substansi mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan makin
disempurnakan dengan keluarnya Surat Keputusan Dirjen Dikti No.
38/Dikti/2002 dan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang
Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan di perguruan tinggi merupakan Mata Kuliah Kelompok
Pengembangan Kepribadian (MPK) yang memiliki visi, misi, dan standar
kompetensi sebagai berikut:
1. Visi kelompok MPK: sebagai sumber nilai dan pedoman dalam
pengembangan dan penyelenggaraan program studi guna mengantarkan
mahasiswa memantapkan kepribadiannya sebagai manusia Indonesia
seutuhnya.
2. Misi kelompok MPK: membantu mahasiswa memantapkan
kepribadiannya agar secara konsisten mampu mewujudkan nilai-nilai
dasar keagamaan dan kebudayaan, rasa kebangsaan dan cinta tanah air
sepanjang hayat dalam menguasai, menerapkan dan mengembangkan
12
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang dimilikinya dengan rasa
tanggung jawab.
3. Standar Kompetensi kelompok MPK yang wajib dikuasasi mahasiswa
meliputi pengetahuan tentang nilai-nilai agama, budaya, dan
kewarganegaraan dan mampu menerapkan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan sehari-hari; memiliki kepribadian yang mantap; berpikir kritis:
bersikap rasional, etis, estetis, dan dinamis; berpandangan luas; dan
bersikap demokratis yang berkeadaban.
Sedangkan kompetensi dasar mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan adalah menjadi ilmuwan dan profesional yang memiliki
rasa kebangsaan dan cinta tanah air; demokratis yang berkeadaban;
menjadi warga negara yang memiliki daya saing: berdisiplin, dan
berpartisipasi aktif dalam membangun kehidupan yang damai berdasarkan
sistem nilai Pancasila.
Menurut Pasal 3 Keputusan Dirjen Dikti No. 43/Dikti/2006 tentang
Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian
di Perguruan Tinggi, Pendidikan Kewarganegaraan dirancang untuk
memberikan pengertian kepada mahasiswa tentang pengetahuan dan
kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antar warga negara serta
pendidikan pendahuluan bela negara sebagai bekal agar menjadi warga
negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.
Pentingnya bela negara oleh warga negara melalui penyelenggaraan
Pendidikan Kewarganegaraan semakin ditegaskan dalam UU No. 3 Tahun
2002 tentang Pertahanan Negara. Dalam rumusan Pasal 9 ayat (1) dan (2)
dapat ditemui bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
upaya bela negara yang diwujudkan dalam penyelenggaraan pertahanan
negara (ayat 1), sedangkan dalam ayat (2) dijelaskan bahwa keikutsertaan
warga negara dalam upaya bela negara tersebut diselenggarakan melalui:
13
a. pendidikan kewarganegaraan;
b. pelatihan dasar kemiliteran secara wajib;
c. pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia secara
sukarela atau secara wajib; dan
d. pengabdian sesuai dengan profesi.
Substansi kajian mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan adalah:
Filsafat Pencasila, Identitas Nasional, Negara dan Konstitusi, Demokrasi
Indonesia, HAM dan Rule of Law, Hak dan Kewajiban Warga Negara,
Geopolitik Indonesia, dan Geostrategi Indonesia
14
BAB II
IDENTITAS NASIONAL
A. Pengertian Identitas Nasional
Istilah identitas nasional (national identity) berasal dari kata
identitas dan nasional. Identitas (identity) secara harfiah berarti ciri-ciri,
tanda-tanda atau jatidiri yang melekat pada seseorang atau sesuatu yang
membedakannya dengan yang lain (ICCE, 2005:23). Sedangkan kata nasional
(national) merupakan identitas yang melekat pada kelompok-kelompok
yang lebih besar yang diikat oleh kesamaan-kesamaan, baik fisik seperti
budaya, agama, bahasa maupun non fisik seperti keinginan, cita-cita dan
tujuan. Istilah identitas nasional atau identitas bangsa melahirkan tindakan
kelompok (collective action yang diberi atribut nasional) yang diwujudkan
dalam bentuk-bentuk organisasi atau pergerakan- pergerakan yang diberi
atribut-atribut nasional (ICCE, 2005:25).
Menurut Kaelan (2007), identitas nasional pada hakikatnya adalah
manisfestasi nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek
kehidupan satu bangsa (nation) dengan ciri-ciri khas, dan dengan ciri-ciri
yang khas tadi suatu bangsa berbeda dengan bangsa lain dalam
kehidupannya. Nilai- nilai budaya yang berada dalam sebagian besar
masyarakat dalam suatu negara dan tercermin di dalam identitas nasional,
bukanlah barang jadi yang sudah selesai dalam kebekuan normatif dan
dogmatis, melainkan sesuatu yang terbuka yang cenderung terus menerus
berkembang karena hasrat menuju kemajuan yang dimiliki oleh masyarakat
pendukungnya. Implikasinya adalah bahwa identitas nasional merupakan
sesuatu yang terbuka untuk diberi makna baru agar tetap relevan dan
fungsional dalam kondisi aktual yang berkembang dalam masyarakat
15
Artinya, bahwa identitas nasional merupakan konsep yang terus menerus
direkonstruksi atau dekonstruksi tergantung dari jalannya sejarah.
Hal itu terbukti di dalam sejarah kelahiran faham kebangsaan
(nasionalisme) di Indonesia yang berawal dari berbagai pergerakan yang
berwawasan parokhial seperti Boedi Oetomo (1908) yang berbasis
subkultur Jawa, Sarekat Dagang Islam (1911) yaitu entrepreneur Islam yang
bersifat ekstrovet dan politis dan sebagainya yang melahirkan pergerakan
yang inklusif yaitu pergerakan nasional yang berjati diri
“Indonesianess” dengan mengaktualisasikan tekad politiknya dalam
Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Dari keanekaragaman subkultur tadi terkristalisasi suatu core culture
yang kemudian menjadi basis eksistensi nation-state Indonesia, yaitu
nasionalisme.
Identitas nasional sebagai suatu kesatuan ini biasanya dikaitkan
dengan nilai keterikatan dengan tanah air (ibu pertiwi), yang terwujud
identitas atau jati diri bangsa dan biasanya menampilkan karakteristik
tertentu yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain, yang pada umumnya
dikenal dengan istilah kebangsaan atau nasionalisme. Rakyat dalam konteks
kebangsaan tidak mengacu sekadar kepada mereka yang berada pada status
sosial yang rendah akan tetapi mencakup seluruh struktur sosial yang ada.
Semua terikat untuk berpikir dan merasa bahwa mereka adalah satu. Bahkan
ketika berbicara tentang bangsa, wawasan kita tidak terbatas pada realitas
yang dihadapi pada suatu kondisi tentang suatu komunitas yang hidup
saat ini, melainkan juga mencakup mereka yang telah meninggal dan yang
belum lahir. Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa hakikat identitas
nasional kita sebagai bangsa di dalam hidup dan kehidupan berbangsa dan
bernegara adalah Pancasila yang aktualisasinya tercermin dalam
berbagai penataan kehidupan kita dalam arti luas, misalnya dalam
16
Pembukaan beserta UUD 1945, sistem pemerintahan yang diterapkan, nilainilai
etik, moral, tradisi serta mitos, ideologi, dan lain sebagainya yang secara
normatif diterapkan di dalam pergaulan baik dalam tataran nasional maupun
internasional dan lain sebagainya.
B. Konsep Bangsa Indonesia
Identitas nasional berkaitan dengan konsep bangsa. Apakah
bangsa itu? Pengertian bangsa (nation) dalam konsep modern, tidak
terlepas dari seorang cendekiawan Prancis, Ernest Renan (1823-1892),
seorang filsuf, sejarahwan dan pemuka agama dalam esainya yang
terkenal Qu‟est-ce qu‟une nation? Yang disampaikan dalam kuliah di
Universitas Sorbonne pada tahun 1882. Dalam esainya tersebut dia
menyatakan bahwa bangsa adalah sekelompok manusia yang memiliki
kehendak bersatu sehingga merasa dirinya adalah satu. Menurut Renan,
faktor utama yang menimbulkan suatu bangsa adalah kehendak bersama
dari masing-masing warga untuk membentuk suatu bangsa (Soeprapto,
1994:115).
Lain halnya dengan Otto Bauer (1881-1934) seorang legislator dan
seorang theoreticus, menyebut bahwa bangsa adalah suatu persatuan
karakter/perangai yang timbul karena persatuan nasib. Otto Bauer lebih
menekankan pengertian bangsa dari karakter, sikap dan perilaku yang
menjadi jatidiri bangsa dengan bangsa yang lain. Karakter ini
terbentuk karena pengalaman sejarah budaya yang tumbuh berkembang
bersama dengan tumbuhkembangnya bangsa (Soeprapto, 1994:114).
Dalam pandangan Tilaar (2007:29), bangsa adalah suatu prinsip
spiritual sebagai hasil dari banyak hal yang terjadi dalam sejarah manusia.
Bangsa adalah keluarga spiritual dan tidak ditentukan oleh bentuk bumi
misalnya. Apa yang disebut prinsip spiritual atau jiwa dari bangsa? Terdapat
dua hal dalam prinsip spiritual tersebut: 1) terletak pada masa lalu, dan 2)
17
terletak pada masa kini. Pada masa lalu suatu komunitas mempunyai
sejarah atau memori yang sama. Pada masa kini, komunitas tersebut
mempunyai keinginan untuk hidup bersama atau suatu keinginan untuk
mempertahankan nilai-nilai yang telah diperoleh oleh seorang dari upayaupaya
masa lalu, perngorbanan-pengorbanan dan pengabdian. Masa lalu
merupakan modal sosial (social capital) dimana di atasnya dibangun cita-cita
nasional. Jadi suatu bangsa mempunyai masa jaya yang lalu dan mempunyai
keinginan yang sama di masa kini. Berdasarkan spirit tersebut itulah manusia
bersepakat untuk berbuat sesuatu yang besar. Rasa kejayaan atau penderitaan
masa lalu adalah lebih penting dari perbedaan ras dan budaya. Dengan
demikian suatu bangsa adalah suatu masyarakat solidaritas dalam skala
besar. Solidaritas tersebut disebabkan oleh pengorbanan yang telah diberikan
pada masa lalu dan bersedia berkorban untuk masa depan (Tilaar, 2007:29).
Dalam Ensiklopedia Nasional Indonesia (Soeprapto, 1994:115),
dijelaskan definisi bangsa menurut hukum, yaitu rakyat atau orang-orang
yang berada di dalam suatu masyarakat hukum yang terorganisir. Kelompok
orang-orang satu bangsa ini pada umumnya menempati bagian atau wilayah
tertentu, berbicara dalam bahasa yang sama (meskipun dalam bahasa-bahasa
daerah), memiliki sejarah, kebiasaan, dan kebudayaan yang sama, serta
terorganisir dalam suatu pemerintahan yang berdaulat.
Dari definisi tersebut, nampak bahwa bangsa adalah sekelompok
manusia yang:
1. Memiliki cita-cita bersama yang mengikat mereka menjadi satu kesatuan.
2. Memiliki sejarah hidup bersama, sehingga tercipta rasa senasib
sepenanggungan.
3. Memiliki adat, budaya, kebiasaan yang sama sebagai akibat
pengalaman hidup bersama.
18
4. Memiliki karakter, perangai yang sama yang menjadi pribadi dan
jatidirinya.
5. Menempati suatu wilayah tertentu yang merupakan kesatuan wilayah.
6. Terorganisir dalam suatu pemerintahan yang berdaulat, sehingga
mereka terikat dalam suatu masyarakat hukum.
Lalu apakah bangsa Indonesia itu? Perkembangan masyarakat yang
kini menyebut dirinya sebagai bangsa Indonesia telah melalui suatu jarak
waktu yang panjang, yaitu ketika masyarakat itu masih bertegak dan hidup dalam
“negara” atau kerajaan-kerajaan Nusantara (Gonggong, 2000:x). Tentang hal
ini amatlah menarik menyimak apa yang dikatakan oleh Clifford Geertz
(2000), antropolog kondang yang dianggap sebagai ahli Indonesia
sebagaimana dikemukakan oleh Gonggong (2000:x) berikut: Ketika kita
menyaksikan panorama Indonesia saat ini, rasanya kita sedang menyusun
suatu sinopsis masa lalu yang tanpa batas, seperti kalau kita melihat bendabenda
peninggalan sejarah (artefak) dari bermacam-macam lapisan dalam
situs arkeologis yang lama mengeram, yang dijajarkan di atas sebuah meja
sehingga sekali pandang bisa kita lihat kilasan sejarah manusia sepanjang
ribuan tahun. Semua arus kultural yang sepanjang tiga milennia, mengalir
berurutan, memasuki Nusantara dari India, dari Cina, dari Timur Tengah,
dari Eropa – terwakili di tempat-tempat tertentu: di Bali yang Hindu, di
permukiman Cina di Jakarta, Semarang atau Surabaya, di pusat-pusat
Muslim di Aceh, Makasar atau Dataran Tinggi Padang; di daerah-daerah
Minahasa dan Ambon yang Calvinis, atau daerah-daerah Flores dan Timor
yang Katolik.
Lebih lanjut, Geertz menunjukkan fakta tentang situasi
masyarakat Indonesia, sebagai berikut: Rentang struktur sosialnya juga lebar,
dan merangkum: sistem-sistem kekuasaan Melayu-Polynesia di pedalaman
Kalimantan atau Sulawesi, desa-desa tradisional di dataran rendah di
19
sepanjang sungai Jawa Tengah dan Jawa Timur; desa-desa nelayan dan
penyelundupan yang berorientasi pasar di pantai-pantai Kalimantan dan
Sulawesi; ibu-ibu kota provinsi yang kumuh dan kota-kota kecil di Jawa
dan pulau-pulau seberang; dan kota-kota metropolitan yang besar, terasing,
dan setengah modern seperti Jakarta, Medan, Surabaya dan Makasar.
Keanekaragaman bentuk perekonomian sistem-sistem stratifikasi, atau aturan
kekerabatan juga melimpah ruah.
Apa yang diterangkan di atas barulah hal-hal yang berkaitan dengan
kebudayaan yang dilatari oleh perjalanan sejarah yang panjang. Dilihat dari
segi agama, keyakinan, budaya, dan suku bangsa, Indonesia adalah satu
contoh Negara yang paling beragam. Bahkan menurut Geertz (1996)
sebagaimana dikemukakan F Budi Hardiman (2005:viii) dalam pengantarnya
untuk buku Kewarganegaraan Multikultural karya Will Kymlicka, menyatakan
sebagai berikut: Indonesia ini sedemikian kompleksnya sehingga rumit untuk
menentukan anatominya secara persis. Negara ini bukan saja multi-etnis
(Dayak, Kutai, Makasar, Bugis, Jawa, Sunda, Batak, Aceh, Flores, Bali, dan
seterusnya), tetapi juga menjadi medan pertarungan pengaruh multimental
dan ideologi (India, Cina, Belanda, Portugis, Hinduisme,
Budhisme, Konfusianisme, Islam, Kristen, Kapitalisme, dan seterusnya). “Indonesia”
demikian tulisnya, “adalah sejumlah „bangsa‟ dengan ukuran, makna dan karakter yang
berbeda-beda yang melalui sebuah narasi agung yang bersifat historis,
ideologis, religius atau semacam itu disambung-sambung menjadi sebuah
struktur ekonomis dan politis bersama”.
Memperkuat pernyataan Geertz di atas, Kusumohamidjojo (2000:16)
melukiskan kebhinnekaan Indonesia, yang kenyataannya sudah diketahui
dan ditandai ketika para penjelajah mancanegara mulai mendarati pantaipantai
kepulauan Nusantara itu ke dalam dua dimensi, geografis dan
etnografis.
20
Pertama, dimensi geografis sebagaimana merupakan hasil
pengamatan dari Alfred Wallace dan Weber yang kemudian dikukuhkan
dalam Geografi sebagai Garis Wallacea yang membentang dari Laut Sulu di
utara melalui selat Makasar hingga ke Selat Lombok di selatan, dan Garis
Weber yang membentang dari pantai barat Pulau Halmahera di utara melalui
Laut Seram hingga ke Laut Timor di selatan. Garis Wallacea dan Weber secara
fisiko-geografis membedakan Dangkalan Sunda di sebelah Barat (yang
meliputi pulau-pulau Sumatera, Kalimantan, Jawa, dan Bali) dari Dangkalan
Indonesia Tengah (yang meliputi pulau-pulau Sulawesi dan sebagian pulaupulau
Nusa Tenggara sebelah Barat), dan dari Dangkalan Sahul di sebelah
timur (yang meliputi kepulauan Halmahera, Aru dan Papua). Kebedaan itu
merupakan akibat dari proses perkembangan fisiko- geografis yang
ditinggalkan oleh akhir Zaman Es. Kebedaan geografis itu berakibat
menentukan pada kebedaan dunia flora dan fauna dari masing-masing
kelompok kepulauan itu.
Dimensi kedua adalah dimensi yang etnografis, yang
merupakan perpaduan konsekuensi dari dimensi fisiko-geografis dan proses
migrasi bangsa- bangsa purba. Dalam kerangka dimensi entografis itu
kita lalu dapat melihat adanya perbedaan etnis pada penduduk yang
mendiami berbagai pulau-pulau Nusantara. Dari hasil penelitian yang
dilakukan seorang antropolog Junus Melalatoa (1995) yang kemudian hasil
penelitian ini diterbitkan sebagai Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia
(Depdikbud, 1995) diketahui adanya tidak kurang dari 500 suku bangsa
yang mendiami wilayah negara yang kita sepakati bersama-sama bernama
Indonesia ini, mereka mendiami sekitar 17.000 pulau besar dan kecil,
berpenghuni atau tidak berpenghuni.
Uraian di atas sebenarnya menunjukkan bahwa betapa sulitnya
merumuskan apakah bangsa Indonesia itu sebenarnya. Tentu saja akan
21
banyak pengertian yang muncul. Presiden Soekarno, menyatakan bahwa
bangsa Indonesia adalah seluruh manusia yang menurut wilayahnya telah
ditentukan untuk tinggal secara bersama di wilayah nusantara dari ujung
Barat (Sabang) sampai ujung Timur (Merauke) yang memiliki “Le desir d‟etre
ensemble” (kehendak bersama, pendapat Ernest Renan) dan “Charactergemeinschaft”
(persatuan karakter, menurut Otto Bauer) yang telah menjadi satu (Winarno,
2007:42). Tilaar (2007:38) mengemukakan bahwa bangsa Indonesia adalah
suatu kesatuan sosial yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang mendiami
wilayah negara kesatuan republik Indonesia dan menjunjung bahasa
persatuan bahasa Indonesia. Bangsa Indonesia merupakan suatu kesatuan
solidaritas kebangsaan. Seorang merupakan bangsa Indonesia kalau dia
itu menganggap bagian dari nation Indonesia, yaitu suatu kesatuan
solidaritas dari seseorang tehadap tujuan bersama masyarakat Indonesia.
Kesatuan solidaritas itu berasal dari nation-nation yang sudah lama ada di
kepulauan nusantara, seperti bangsa Jawa, bangsa Minang, bangsa
Minahasa, bangsa Papua. Demikian pula suku bangsa yang lainnya di
nusantara termasuk suku-suku keturunan Cina, Arab, dan lainnya yang telah
menganggap kepulauan nusantara ini sebagai tanah airnya.
Faktor-faktor penting bagi pembentukan bangsa Indonesia
(Winarno, 2007:42) adalah sebagai berikut:
1. Adanya persamaan nasib, yaitu penderitaan bersama di bawah
penjajahan bangsa asing lebih kurang 350 tahun.
2. Adanya keinginan bersama untuk merdeka, melepaskan diri dari
belenggu penjajahan.
3. Adanya kesatuan tempat tinggal, yaitu wilayah nusantara
yang membentang dari Sabang sampai Merauke.
4. Adanya cita-cita bersama untuk mencapai kemakmuran dan
keadilan sebagai suatu bangsa.
22
Keanggotaan seseorang sebagai bangsa Indonesia bukan berarti ia
melepaskan keanggotaan dari suatu kesatuan sosial lainnya seperti
keanggotaannya sebagai suku Jawa, sebagai umat penganut dari suatu
agama. Menurut Tilaar (2007:32), seseorang termasuk bangsa Indonesia
adalah seseorang yang memiliki perilaku tertentu yang merupakan perilaku
Indonesia, perasaan- perasaan tertentu yang merupakan jati diri (identitas)
bangsa Indonesia.
C. Faktor-Faktor Pembentuk Identitas Nasional
Proses pembentukan bangsa negara membutuhkan identitas-identitas
untuk menyatukan masyarakat bangsa yang bersangkutan. Faktor-faktor
yang diperkirakan menjadi identitas bersama suatu bangsa menurut Ramlan
Surbakti (1999) meliputi primordial, sakral, tokoh, kesediaan bersatu dalam
perbedaan, sejarah, perkembangan ekonomi, dan kelembagaan (Ramlan
Surbakti, 1999).
Pertama, faktor-faktor primordial ini meliputi: kekerabatan (darah dan
keluarga), kesamaan suku bangsa, daerah asal (home land), bahasa dan adat
istiadat. Faktor primodial merupakan identitas yang khas untuk menyatukan
masyarakat Indonesia sehingga mereka dapat membentuk bangsa negara.
Kedua, Faktor sakral dapat berupa kesamaan agama yang dipeluk
masyarakat atau ideologi doktriner yang diakui oleh masyarakat yang
bersangkutan. Agama dan ideologi merupakan faktor sakral yang dapat
membentuk bangsa negara. Faktor sakral ikut menyumbang terbentuknya
satu nasionalitas baru. Negara Indonesia diikat oleh kesamaan ideologi
Pancasila.
Ketiga, tokoh. Kepemimpinan dari para tokoh yang disegani dan
dihormati oleh masyarakat dapat pula menjadi faktor yang menyatukan
bangsa negara. Pemimpin di beberapa negara dianggap sebagai penyambung
lidah rakyat, pemersatu rakyat dan simbol pemersatu bangsa yang
23
bersangkutan. Contohnya Soekarno di Indonesia, Nelson Mandela di Afrika
Selatan, Mahatma Gandhi di India, dan Tito di Yugoslavia.
Keempat, prinsip kesediaan warga bangsa bersatu dalam perbedaan
(unity in deversity). Yang disebut bersatu dalam perbedaan adalah kesediaan
warga bangsa untuk setia pada lembaga yang disebut negara dan
pemerintahnya tanpa menghilangkan keterikatannya pada suku bangsa, adat,
ras, agamanya. Sesungguhnya warga bangsa memiliki kesetiaan ganda
(multiloyalities). Warga setia pada identitas primordialnya dan warga juga
memiliki kesetiaan pada pemerintah dan negara, namun mereka
menunjukkan kesetiaan yang lebih besar pada kebersamaan yang terwujud
dalam bangsa negara di bawah satu pemerintah yang sah. Mereka sepakat
untuk hidup bersama di bawah satu bangsa meskipun berbeda latar
belakang. Oleh karena itu, setiap warga negara perlu memiliki kesadaran
akan arti pentingnya penghargaan terhadap suatu identitas bersama yang
tujuannya adalah menegakkan Bhinneka Tunggal Ika atau kesatuan dalam
perbedaan (unity in deversity) suatu solidaritas yang didasarkan pada
kesantunan (civility).
Kelima, sejarah. Persepsi yang sama diantara warga masyarakat
tentang sejarah mereka dapat menyatukan diri dalam satu bangsa. Persepsi
yang sama tentang pengalaman masa lalu, seperti sama-sama menderita
karena penjajahan tidak hanya melahirkan solidaritas tetapi juga melahirkan
tekad dan tujuan yang sama antar anggota masyarakat itu.
Keenam, perkembangan ekonomi (industrialisasi) akan melahirkan
spesialisasi pekerjaan profesi sesuai dengan aneka kebutuhan
masyarakat. Semakin tinggi mutu dan variasi kebutuhan masyarakat,
semakin saling tergantung diantara jenis pekerjaan. Setiap orang akan saling
bergantung dalam memenuhi kebutuhan hidup. Semakin kuat saling
ketergantungan anggota masyarakat karena perkembangan ekonomi, akan
24
semakin besar solidaritas dan persatuan dalam masyarakat. Solidaritas yang
terjadi karena perkembangan ekonomi oleh Emile Durkheim disebut
Solidaritas Organis. Faktor ini berlaku di masyarkat industri maju seperti
Amerika Utara dan Eropa Barat.
Terakhir, lembaga-lembaga pemerintahan dan politik. Lembagalembaga
itu seperti birokrasi, angkatan bersenjata, pengadilan, dan partai
politik. Lembaga- lembaga itu melayani dan mempertemukan warga tanpa
membeda-bedakan asal usul dan golongannya dalam masyarakat. Kerja
dan perilaku lembaga politik dapat mempersatukan orang sebagai satu
bangsa.
25
D. Identitas Nasional Indonesia
Identitas nasional merupakan sesuatu yang ditransmisikan dari
masa lalu dan dirasakan sebagai pemilikan bersama, sehingga tampak
kelihatan di dalam keseharian tingkah laku seseorang dalam
komunitasnya (Tilaar, 2007:27). Identitas nasional merujuk pada
identitas-identitas yang sifatnya nasional. Identitas nasional bersifat
buatan dan sekunder. Bersifat buatan oleh karena identitas nasional itu
dibuat, dibentuk dan disepakati oleh warga bangsa sebagai identitasnya
setelah mereka bernegara. Bersifat sekunder oleh karena identitas nasional
lahir belakangan dibandingkan dengan identitas kesukubangsaan yang
memang telah dimiliki warga bangsa itu secara askriptif. Jauh sebelum
mereka memiliki identitas nasional itu, warga bangsa telah memiliki identitas
primer yaitu identitas kesukubangsaan.
Proses pembentukan identitas nasional umumnya membutuhkan
waktu perjuangan panjang di antara warga bangsa-negara yang
bersangkutan. Hal ini disebabkan identitas nasional adalah hasil kesepakatan
masyarakat bangsa itu. Dapat terjadi sekelompok warga bangsa tidak setuju
degan identitas nasional yang hendak diajukan oleh kelompok bangsa
lainnya. Setiap kelompok bangsa di dalam negara, umumnya mengingingkan
identitasnya dijadikan atau diangkat sebagai identitas nasional yang tentu
saja belum tentu diterima oleh kelompok bangsa lain. Inilah yang
menyebabkan sebuah negara-bangsa yang baru merdeka mengalami
pertikaian intern yang berlarut-larut demi untuk saling mengangkat
identitas kesukubangsaan menjadi identitas nasional.
Setelah bangsa Indonesia bernegara, mulai dibentuk dan disepakati
apa- apa yang dapat menjadi identitas nasional Indonesia. Bisa dikatakan
bangsa Indonesia relatif berhasil dalam membentuk identitas nasionalnya
kecuali pada saat proses pembentukan ideologi Pancasila sebagai identitas
26
nasional yang membutuhkan perjuangan dan pengorbanan di antara warga
bangsa.
Beberapa bentuk identitas nasional Indonesia, adalah sebagai berikut:
1. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional atau bahasa persatuan.
Bahasa Indonesia berawal dari rumpun bahasa Melayu yang
dipergunakan sebagai bahasa pergaulan yang kemudian diangkat sebagai
bahasa persatuan pada tanggal 28 Oktober 1928. Bangsa Indonesia sepakat
bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa nasional sekaligus sebagai
identitas nasional Indonesia.
2. Sang merah putih sebagai bendera negara. Warna merah berarti berani
dan putih berarti suci. Lambang merah putih sudah dikenal pada masa
kerajaan di Indonesia yang kemudian diangkat sebagai bendera negara.
Bendera merah putih dikibarkan pertama kali pada tanggal 17
Agustus 1945, namun telah ditunjukkan pada peristiwa Sumpah Pemuda.
3. Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Lagu Indonesia Raya
pertama kali dinyanyikan pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam Kongres
Pemuda II.
4. Burung Garuda yang merupakan burung khas Indonesia dijadikan
sebagai lambang negara.
5. Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara yang berarti berbeda-beda
tetapi satu jua. Menunjukkan kenyataan bahwa bangsa kita heterogen,
namun tetap berkeinginan untuk menjadi satu bangsa, yaitu bangsa
Indonesia.
6. Pancasila sebagai dasar falsafat negara yang berisi lima dasar yang
dijadikan sebagai dasar filsafat dan ideologi negara Indonesia. Pancasila
merupakan identitas nasional yang berkedudukan sebagai dasar negara
dan pandangan hidup (ideologi) bangsa.
27
7. UUD 1945 sebagai konstitusi (hukum dasar) negara. UUD 1945
merupakan hukum dasar tertulis yang menduduki tingkatan tertinggi
dalam tata urutan peraturan perundangan dan dijadikan sebagai
pedoman penyelenggaraan bernegara.
8. Bentuk negara adalah Kesatuan Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat. Bentuk negara adalah kesatuan, sedang bentuk
pemerintahan adalah republik. Sistem politik yang digunakan adalah
sistem demokrasi (kedaulatan rakyat). Saat ini identitas negara kesatuan
disepakati untuk tidak dilakukan perubahan.
9. Konsepsi wawasan nusantara sebagai cara pandang bangsa Indonesia
mengenai diri dan lingkungan yang serba beragam dan memiliki
nilai strategis dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa,
serta kesatuan wilayah dalam penyelenggaraan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan
nasional.
10. Kebudayaan sebagai puncak-puncak dari kebudayaan daerah.
Kebudayaan daerah diterima sebagai kebudayaan nasional. Berbagai
kebudayaan dari kelompok-kelompok bangsa di Indonesia yang memiliki
cita rasa tinggi, dapat dinikmati dan diterima oleh masyarakat luas
sebagai kebudayaan nasional.
Tumbuh dan disepakatinya beberapa identitas nasional Indonesia itu
sesungguhnya telah diawali dengan adanya kesadaran politik bangsa
Indonesia sebelum bernegara. Hal demikian sesuai dengan ciri dari
pembentukan negara- negara model mutakhir. Kesadaran politik itu adalah
tumbuhnya semangat nasionalisme (semangat kebangsaan) sebagai gerakan
menentang penjajahan dan mewujudkan negara Indonesia. Dengan demikian,
nasionalisme yang tumbuh kuat dalam diri bangsa Indonesia turut
mempermudah terbentuknya identitas nasional Indonesia.
28
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA
.
A. Konsep Warga Negara Dan Kewarganegaraan
Istilah warga negara (bahasa Inggris: citizen atau bahasa Perancis:
citoyen, citoyenne) merujuk kepada bahasa Yunani Kuno polites atau Latin civis,
yang didefinisikan sebagai anggota dari polis (kota) Yunani Kuno atau
res publica (perkumpulan orang-orang atau masyarakat) Romawi bagi
persekutuan orang- orang di Mediterania Kuno, yang selanjutnya
ditransmisikan kepada peradaban Eropa dan Barat (Pocock,1995:29). Warga
negara dapat berarti warga, anggota dari suatu negara. Ketika
mempertanyakan what is a citizen? Turner (1990) (Sapriya, 2006) menjelaskan
bahwa “a citizen is a member of a group living under certain laws” atau anggota dari
sekelompok manusia yang hidup atau tinggal di wilayah hukum negara
tertentu. Dikatakan lebih lanjut, bahwa hukum ini disusun dan
diselenggarakan oleh orang-orang yang memerintah, mengatur kelompok
masyarakat tersebut. Mereka yang ikut serta mengatur kelompok masyarakat
bersama-sama dikenal sebagai pemerintah (government). Oleh karena itu,
warga negara disimpulkan sebagai “a member of a group living under the rule of
a government”
Dalam Webster‟s Encyclopedic Unabridged Dictionary of the English Language
(1989:270), konsep warga negara dapat dipahami sebagai “…as a native
or naturalized member of a state or nation who owes allegiance to it government
and is entitled to its protection”, atau anggota asli atau hasil naturalisasi
dari negara atau bangsa yang memiliki kesetiaan terhadap
pemerintahan dan berhak atas perlindungan pemerintahan, sedangkan
citizenship as the “state of being vested with the rights, privileges, and duties of a citizen”, atau
kewarganegaraan adalah status pribadi yang dimiliki secara tetap dengan
29
hak, perlakuan khusus, dan tugas-tugas sebagai warga negara (Banks,
2004:24).
Pengertian di atas menunjukkan bahwa kewarganegaraan adalah “posisi
atau status sebagai warga negara” (the position or status of being a citizen)
(Simpson & Weiner, 1989:250) yang di dalamnya melekat seperangkat
hak, kewajiban, dan identitas yang menghubungkan warga negara dengan
negara- bangsa (the set of rights, duties, and identities linking citizens to the nationstate).
(Koopmans et all., 2005:7; Banks, 2007:129).
Heywood (1994:155) mengartikan warga negara sebagai “…is a member of a
political community, which is defined by a set of rights and obligations atau anggota
suatu masyarakat politis (political community), yang digambarkan oleh
seperangkat hak dan kewajiban. Sedangkan kewarganegaraan menurut
Heywood (1994:155) “… therefore represents a relationship between the individual
and the state, in which the two are bound together by reciprocal rights and
obligations” atau kewarganegaraan itu menghadirkan suatu hubungan
antara individu dan negara, dimana keduanya terikat bersama-sama oleh
hak dan kewajiban secara timbal balik. Pengertian ini sejalan dengan
pendapat Kymlicka (2003:147) yang mengemukakan bahwa “the term „citizenship‟
typically refers to membership in a political community, and hence designates a
relationship between the individual and the state” artinya bahwa
kewarganegaraan merujuk kepada anggota dari komunitas politik, dan
karenanya menandakan hubungan antara individu dan negara.
Selanjutnya, Heywood (1994:156) mengemukakan bahwa
kewarganegaraan merupakan status hukum dan identitas (a legal status and an
identity), karenanya terkandung dalam pengertian itu dua dimensi, objektif
dan subjektif. Secara objektif, kewarganegaraan terkait dengan hak-hak
dan kewajiban-kewajiban yang diberikan negara secara spesifik (specific rights
and obligations which a state invests in its members) dan dimensi subjektif
30
berkaitan dengan kesetiaan rasa memiliki (a sense of loyalty and
belonging) terhadap negara. Cogan (1998:13) memberikan atribut pokok
kewarganegaraan dengan terlebih dahulu membedakan konsep warga negara
(citizen) dengan kewarganegaraan (citizenship). Konsep “a citizen”
diartikan sebagai “a constituent member of society” atau anggota resmi suatu
masyarakat. Sementara itu “citizenship” diartikan sebagai “a set of characteristics of
being a citizen”, atau seperangkat karakteristik sebagai seorang warga negara.
Secara konseptual, citizenship memiliki lima atribut pokok, yakni:”…a
sense of identity; the enjoyment of certains rights; the fulfilment of corresponding
obligations; a degree of interest and involvement in public affairs; and an
acceptance of basic societal values” (Cogan,1998:2-3). Dengan kata lain seorang warga
negara seyogyanya memiliki jati diri; kebebasan untuk menikmati hak
tertentu; pemenuhan kewajiban-kewajiban terkait; tingkat minat dan
keterlibatan dalam urusan publik; dan pemilikan nilai-nilai dasar
kemasyarakatan.
Dalam perkembangan negara modern, konsep kewarganegaraan
lazimnya didefinisikan sebagai sebuah hubungan antara individu dan
masyarakat politik yang dikenal sebagai negara, yang alami. Individu
memberikan loyalitas kepada negara guna mendapatkan proteksi darinya
(Kalidjernih, 2007:51). Dengan demikian, warga negara adalah rakyat yang
menetap di suatu wilayah tertentu dalam hubungannya dengan negara.
Warga negara secara sendiri-sendiri merupakan subjek-subjek hukum yang
menyandang hak-hak sekaligus kewajiban- kewajiban dari dan terhadap
negara. Setiap warga negara mempunyai hak-hak yang wajib diakui
(recognized) oleh negara dan wajib dihormati (respected), dilindungi (protected),
dan difasilitasi (facilitated), serta dipenuhi (fulfilled) oleh negara. Sebaliknya,
setia warga negara juga mempunyai hak-hak negara yang wajib diakui
31
(recognized), dihormati (respected), dan ditaati atau ditunaikan (complied) oleh
setiap warga negara (Asshiddiqie, 2006:132).
Dalam konteks Indonesia, pasal 26 ayat (1) UUD 1945 menetapkan
bahwa yang dimaksud warga negara Indonesia adalah adalah orang-orang
bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
undang-undang sebagai warga negara. Beberapa ketentuan peraturan
perundang-undangan yang mengatur perihal kewarganegaraan Indonesia
dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Undang-undang No. 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan
Penduduk Negara.
2. Undang-undang No. 6 Tahun 1947 tentang Perubahan atas Undangundang
No. 3 Tahun 1946 tentang Warga Negara dan Penduduk Negara.
3. Undang-undang No. 8 Tahun 1947 tentang Memperpanjang Waktu
untuk
4. Mengajukan Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara
Indonesia.
5. Undang-undang No. 11 Tahun 1948 tentang Memperpanjang Waktu Lagi
untuk Mengajukann Pernyataan Berhubung dengan Kewargaan Negara
Indonesia
6. Undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia.
7. Undang-undang No. 3 Tahun 1976 tentang Perubahan atas pasal 18
Undang-undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia.
8. Undang-undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
Indonesia.
Menurut UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan
Indonesia, yang dimaksud warga negara Indonesia adalah sebagai berikut:
32
a. setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau
berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan negara
lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara
Indonesia;
b. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan
ibu Warga Negara Indonesia;
c. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga
Negara Indonesia dan ibu warga negara asing; ketentuan ini berakibat
anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun
atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.
d. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga
negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia; ketentuan ini berakibat
anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun
atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.
e. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga
Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan
atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan
kepada anak tersebut;
f. anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah
ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga
Negara Indonesia;
g. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu
Warga Negara Indonesia;
h. anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga
negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia
33
sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut
berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;
i. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada
waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
j. anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik
Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
k. anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah
dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui
keberadaannya;
l. anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia
dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena
ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan
kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan; berakibat anak
berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau
sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.
m. anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan
permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya
meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji
setia.
Disamping itu, ditentukan pula bahwa yang menjadi warga negara
Indonesia adalah: 1) Anak Warga Negara Indonesia yang lahir di Iuar
perkawinan yang sah, belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum
kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap
diakui sebagai Warga Negara Indonesia; dan 2) anak warga negara
Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara sah sebagai
anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap
diakui sebagai Warga Negara Indonesia. (Pasal 5 ayat 1 dan 2 UU No. 12
34
Tahun 2006). Karena dua ketentuan di atas, maka akan berakibat anak
berkewarganegaraan ganda, karena itu, maka setelah berusia 18 tahun atau
sudah kawin, anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
kewarganegaraannya.
B. Asas-Asas Kewarganegaraan
Dalam berbagai literatur hukum dan dalam praktik, dikenal adanya
tiga asas kewarganegaraan, masing-masing adalah ius soli, ius sanguinis, dan
asas campuran. Dari ketiga asas itu, yang dianggap sebagai asas yang utama
ialah asas ius soli dan ius sanguinis (Asshiddiqie, 2006:132)
Asas ius soli (asas kedaerahan) ialah bahwa kewarganegaraan
seseorang ditentukkan menurut tempat kelahirannya. Seseorang dianggap
berstatus warga negara dari Negara A, karena ia dilahirkan di Negara A
tersebut. Sedangkan asas ius sanguinis dapat disebut sebagai asas
keturunan atau asas darah. Menurut prinsip yang terkandung dalam asas
kedua ini, kewarganegaraan ditentukkan dari garis keturunan orang yang
bersangkutan. Seseorang adalah warga negara A, karena orang tuanya
adalah warga negara A. Pada saat sekarang, dimana hubungan
antarnegara berkembang semakin mudah dan terbuka, dengan sarana
transportasi, perhubungan, dan komunikasi yang sudah sedemikian
majunya, tidak sulit bagi setiap orang untuk bepergian ke mana saja. Oleh
karena itu, banyak terjadi bahwa seseorang warga negara dari Negara A
berdomisili di negara B. Kadang-kadang orang tersebut melahirkan anak di
negara tempat dia berdomisili. Dalam kasus demikian, jika yang diterapkan
adalah asas ius soli, maka akibatnya anak tersebut menjadi warga negara
dari negara tempat domisilinya itu, dan dengan demikian putuslah
hubungannya dengan negara asal orang tuanya. Karena alasan-alasan itulah
maka dewasa ini banyak negara yang telah meninggalkan penerapan asas ius
soli, dan berubah menganut asas ius sanguinis. Dianutnya asas ius sanguinis
35
ini besar manfaatnya bagi negara-negara yang berdampingan dengan
negara lain (neighboring countries) yang dibatasi oleh laut seperti negaranegara
Eropa Kontinental. Di negara-negara demikaian ini, setiap orang
dapat dengan mudah berpindah-pindah tempat tinggal kapan saja menurut
kebutuhan. Dengan asas ius sanguinis, anak-anak yang dilahirkan di
negara lain akan tetap menjadi warga negara dari negara asal orang tuanya.
Hubungan antara negara dan warga negaranya yang baru lahir tidak
terputus selama orang tuanya masih tetap menganut kewarganegaraan dari
negara asalnya. Sebaliknya, bagi negara-negara yang sebagian terbesar
penduduknya berasal dari kaum imigran, seperti Amerika Serikat, Australia,
dan Kanada, untuk tahap pertama tentu akan terasa lebih menguntungkan
apabila menganut apabila menganut asas ius soli ini, bukan asas ius
sangunis. Dengan lahirnya anak-anak dari para imigran di negara-negara
tersebut akan menjadi putuslah hubungannya dengan negara asal orang
tuanya. Oleh karena itu, Amerika Serikat menganut asas ius soli ini, sehingga
banyak mahasiswa Indonesia yang berdomisili di Amerika Serikat, apabila
melahirkan anak, maka anaknya otomatis mendapatkan status sebagai warga
negara Amerika Serikat.
Sehubunga denga kedua asas tersebut, setiap negara bebas memilih
asas mana yang hendak dipakai dalam rangka kebijakan kewarganegaraan
untuk menentukan siapa saja yang diterima sebagai warga negara dan siapa
yang bukan warga negara, Setiap negara mempunyai kepentingan sendirisendiri
berdasarkan latar belakang sejarah yang tersendiri pula,
sehingga tidak semua Negara menganggap bahwa asas yang satu lebih
baik daripada asas yang lain. Dapat saja terjadi, di suatu negara, yang dinilai
lebih menguntungkan adalah asas ius soli, tetapi di negara yang lain justru
asas ius sanguinis yang dianggap lebih menguntungkan. Bahkan dalam
perkembangan di kemudian hari, timbul pula kebutuhan baru berdasarkan
36
pengalaman di berbagai negara bahwa kedua asas tersebut harus diubah
dengan asas yang lain atau harus diterapkan secara bersamaan untuk
mencegah kemungkinan terjadinya keadaan double-citizenship atau dwikewarganegaraan
(bipatride).
Namun demikian, dalam praktik, ada pula negara yang justru
menganut kedua-duanya, karena pertimbangan lebih menguntungkan bagi
kepentingan negara yang bersangkutan. Misalnya, India dan Pakistan
temasuk negara yang sangat menikmati kebijakan yang mereka terapkan
dengan sistem dwi- kewarganegaraan. Sistem yang terakhir inilah yang biasa
dinamakan sebagai asas campuran. Asas yang bersifat campuran, sehingga
dapat menyebabkan terjadinya apatride atau bripatride. Dalam hal demikian,
yang ditoleransi biasanya adalah keadaan bipatride, yaitu keadaan dwi
kewarganegaraan.
Bagaimana dengan Indonesia? Dalam Undang-undang No. 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, asas-asas yang dipakai
dalam kewarganegaraan Indonesia meliputi:
1. Asas ius sanguinis, yaitu asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan keturunan bukan negara tempat kelahiran;
2. Asas ius soli secara terbatas, yaitu asas yang kewarganegaraan
berdasarkan tempat kelahian diperuntukkan terbatas bagi anak-anak
sesuai dengana ketentuan yang diatur dalam undang-undang;
3. Asas kewarganegaraan tunggal, yaitu asas yang menentukan satu
kewarganegaraan bagi setiap orang;
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas, yaitu asas yang menentukan
kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang
diatur dalam undang-undang ini.
37
C. Persoalan Kewarganegaraan
Setiap negara berhak menentukan asas yang mana yang hendak
dipakai untuk menentukkan siapa yang termasuk warga negara dan siapa
yang bukan. Oleh karena itu, di berbagai negara, dapat timbul berbagai pola
pengaturan yang tidak sama di bidang kewarganegaraan. Bahkan, antara satu
negara dengan negara lain dapat timbul pertentangan atau conflict of
law atau pertentangan hukum. Misalnya, di negara A dianut ius soli
sedangkan negara B menganut asas ius sanguinis, atau sebaliknya. Hal itu
tentu akan menimbulkan persoalan bipatride atau dwi-kewarganegaraan, atau
sebaliknya menyebabkan apatride, yaitu keadaan tanpa kewarganegaraan
sama sekali. Bipatride timbul manakala menurut peraturan-peraturan
tentang kewarganegaraan dari berbagai negara, seseorang sama-sama
dianggap warga negara oleh negara-negara yang bersangkutan.
Pada umumnya, baik bipatride maupun apatride adalah keadaan
yang tidak disukai baik oleh negara di mana orang tersebut berdomisili
ataupun bahkan oleh yang bersangkutan sendiri, keadaan bipatride
membawa ketidakpastian dalam status seseorang, sehingga dapat saja
merugikan negara tertentu atau pun bagi yang bersangkutan itu sendiri.
Misalnya, yang bersangkutan sama-sama dibebani kewajiban untuk
membayar pajak kepada kedua-dua negara yang menganggap sebagai warga
negara itu. Ada juga negara yang tidak menganggap hal ini sebagai
persoalan, sehingga menyerahkan saja kebutuhan untuk memilih
kewarganegaraan kepada orang yang bersangkutan. Di kalangan negaranegara
yang sudah makmur, dan rakyatnya yang sudah rata-rata
berpenghasilan tinggi, maka tidak dirasakan adanya kerugian apapun bagi
negara untuk mengakui status dwi-kewarganegaraan itu. Akan tetapi, di
negara-negara yang sedang berkembang, yang penduduknya masih
terbelakang, keadaan bipatride itu sering dianggap lebih banyak merugikan.
38
Sebaliknya, keadaan apatride juga membawa akibat bahwa orang
tersebut tidak akan mendapat perlindungan dari negara manapun juga.
Kedua keadaan itu, yaitu apatride dan bipatride sama-sama pernah dialami
oleh Indonesia. Sebelum ditandatanganinya perjanjian antara Indonesia dan
Republik Rakyat Cina (RRC), sebagian orang-orang Cina yang berdomisili di
Indonesia menurut peraturan kewarganegaraan dari Republik Rakyat Cina
yang berasas ius sanguinis, tetap dianggap sebagai warga negara RRC.
Sebaliknya, menurut Undang-undang tentang Kewarganegaraan Indonesia
pada waktu itu, orang Cina tersebut sudah dianggap menjadi warga negara
Indonesia. Dengan demikian terjadilah keadaan bipatride bagi orang Tionghoa
yang bersangkutan.
Di lain hal, ada pula sebagian orang-orang Tionghoa yang oleh
pemerintah RRC dianggap pro kaum nasionalis Kuomintang tidak diakui
sebagai warga negaranya. Sedangkan, Taiwan yang dianggap sebagai negara
kaum nasionalis itu tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan
Indonesia. Oleh sebab itu, mereka juga diakui oleh Taiwan sebagai warga
negaranya, sehingga mereka tidak mempunyai status sama sebagai warga
negara mana pun juga, dan dapat disebut defacto apatride. Keadaan semacam
ini tentu harus diatasi, apalagi, dalam pasal 28 D ayat (4) UUD 1945 dengan tegas
dinyatakan, “Setiap orang berhak atas status kewargangeraan”.
Baik bipatride maupun apatride tersebut tentu harus dihindarkan
dengan cara menutup kemungkinan terjadinya kedua keadaan itu dengan
undang-undang tentang kewarganegaraan. Umpamanya untuk
mencegah bipatride, pasal 7 Undang-undang Nomor 62 tahun 1958
menentukkan bahwa seseorang perempuan asing yang kawin dengan lakilaki
warga negara Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia
dengan pernyataan dan dengan syarat harus meninggalkan kewarganegaraan
asalnya. Demikian pula, untuk mencegah kemungkinan apatride. Undang39
undang termasuk dalam Pasal 1 huruf f menentukan, bahwa anak yang lahir
di wilayah Republik Indonesia selama kedua orang tuanya tidak diketahui,
adalah warga negara Indonesia. Seandainya ketentuan ini tidak ada, maka
niscaya kelak anak itu akan menjadi apatride karena tidak diketahui siapa
orang tuanya, sehingga sulit untuk menentukan status kewarganegaraannya.
Dengan dua contoh ini jelaslah bahwa setiap undang-undang tentang
kewarganegaraan dapat mencegah timbulnya keadaan bipatride dan
apatride. Persoalannya sekarang bagaimana kalau bipatride telah terjadi di
Republik Indonesia sebelum tahun 1955, di mana pada waktu itu orang-orang
Cina karena peraturan perundangan yang berlaku pada saat itu dapat
dianggap sebagai warga negara republik Indonesia, sedangkan dalam
keadaan yang bersamaan Republik Rakyat Cina tetap pula beranggapan
bahwa orang- orang Cina tersebut adalah warga negaranya.
Pemecahan atas permasalahan ini adalah tidak mungkin lain dari pada
membuka kemungkinan perundingan langsung di antara negara-negara yang
bersangkutan. Oleh karena itulah pada tanggal 22 April 1955 telah
ditandatangani masing-masing oleh Menteri luar Negeri Republik Indonesia
dan Republik Rakyat Cina yang dikenal sebagai Perjanjian Soenario-Chou.
Pejanjian inilah yang kemudian dituangkan menjadi Undang-undang Nomor
2 tahun 1958 tentang Persetujuan Perjanjian Antara Republik Indonesia
dengan RRT mengenai Soal Dwikewarganegaraan. Dalam perjanjian itu
ditentukkan bahwa kepada semua orang Cina yang ada di Indonesia harus
mengadakan pilihan tegas dan tertulis, apakah akan menjadi warga negara
Republik Indonesia atau tetap berkewarganegaraan Republik Rakyat Cina.
Dengan demikian, terpecahkanlah masalah dwi-kewarganegaraan yang
pernah timbul antar RRC dan RI di masa lalu.
40
Dalam konteks UU No. 12. Tahun 2006 pada dasarnya tidak mengenal
adanya kewarganegaraan bipatride ataupun apatride. Kewarganegaraan
ganda merupakan pengecualian.
D. Perolehan dan Kehilangan Kewarganegaraan
Dalam berbagai literatur hukum di Indonesia, biasanya cara
memperoleh status kewarganegaraan hanya digambarkan terdiri atas dua
acara, yaitu status kewarganegaraan dengan kelahiran di wilayah hukum
Indonesia, atau dengan cara pewarganegaraan atau naturalisasi
(naturlalization). Akan tetapi, disamping itu, ada tiga cara perolehan
kewarganegaraan, yaitu citizenship by birth, ctizenship by naturalization, dan
citizenship by registration. Namun demikian, jika dirinci lebih lanjut,
sebenarnya cara untuk memperoleh status kewarganegaraan yang
dipraktikan di berbagai negara lebih banyak lagi. Oleh karena itu, dapat
dirumuskan bahwa dalam praktik, memang dapat dirumuskan adanya 5
(lima) prosedur atau metode perolehan status kewarganegaraan, yaitu:
Citizenship by birth; Citizenship by descent; Citizenship by naturalisation;
Citizenship by registration; Citizenship by incoporation of territory (Asshiddiqie,
2006).
Pertama, citizenship by birth adalah pewarganegaraan berdasarkan
kelahiran di mana setiap orang yang lahir di wilayah suatu negara, dianggap
sah sebagai warga negara yang bersangkutan. Asas yang dianut di sini
adalah asas ius soli, yaitu tempat kelahiranlah yang menentukan
kewarganegaraan seseorang. Namun, dalam praktik, hal ini juga tidak
bersifat mutlak. Misalnya, di Inggris, sebelumnya berlaku prinsip bahwa “subject
to minor exceptions, birth in the United Kingdom confered British natioanlly”.
Sekarang ketentuan ini diperketat dengan ketentuan bahwa “Birth in the United
Kingdom provided that one parent at the time of birth a british citizen or was
settled in the United Kingdom”. Meskipun demikian, seseorang yang lahir
41
di Inggris, masih dapat memperoleh kesempatan menjadi warga negara
Inggris, apabila kelak salah satu orang tuanya di kemudian hari
mendapatkan kewarganegaraan Inggris atau apabila yang bersangkutan telah
hidup menetapkan di Inggris selama lebih dari sepuluh tahun.
Kedua, citizen by descent adalah kewarganegaraan berdasarkan
keturunan dimana seseorang yang lahir diluar wilayah suatu negara
dianggap sebagai warga negara karena keturunan, apabila pada waktu yang
bersangkutan dilahirkan, kedua orang tuanya adalah warga negara dari
negara tersebut. Asas yang dipakai di sini adalah ius sanguinis, dan hukum
kewarganegaraan Indonesia pada pokoknya menganut asas ini, yaitu
melalui garis ayah. Ketentuan serupa ini juga dianut di Inggris berdasarkan
citizenship act of 1948 yang mengizinkan “the acqusition of citizenship by descent
only through the father”. Sekarang ketentuan ini lebih diperketat yaitu dengan
membatasinya hanya untuk garis keturunan satu generasi saja. Dengan
perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hukum kewarganegaraan Inggris
sesudah berlakunya citizenship act of 1981 menganut sistem kewarganegaraan
melalui kelahiran (by birth) dan juga melalui garis keturanan (by descent).
Ketiga, citizenship by naturalization merupakan pewarganegaraan orang
asing yang atas kehendak sadarnya sendiri mengajukan permohonan
untuk menjadi warga negara dengan memenuhi segala persyaratan yang
ditentukan untuk itu. Keempat, citizenship by regristration merupakan
pewarganegaraan bagi mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu
dianggap cukup dilakukan melalui prosedur administrasi pendaftaran yang
lebih sederhana dibandingkan dengan metode naturalisasi yang lebih rumit.
Misalnya, seorang wanita asing yang menikah dengan pria
berkewarganegaraan Indonesia, haruslah dipandang mempunyai kasus yang
berbeda dari seseorang yang secara sadar dan atas kehendaknya sendiri ingin
menjadi warga negara Indonesia dengan naturalisasi. Untuk kasus seperti
42
ini dapat saja ditentukan dengan undang-undang bahwa proses
pewarganegaraan tidak harus melalui prosedur naturalisasi, melainkan
cukup melalui proses registrasi. Dapat pula terjadi, seorang anak dari ayah
asing dan ibu berkewarganegaraan Indonesia, setelah dewasa memilih
kewarganegaraan Indonesia, maka proses pewarganegaraannya cukup
dilakukan melalui prosedur administrasi pendaftaran disertai surat
pernyataan kewarganegaraan.
Di Inggris, misalnya, menteri dalam negeri (home secretary) diberi
kewenangan “to registrer minors as british citizens by section 3 which spells out
particular requrements to be satisfied in spesific types of application”. Seorang yang
dianggap mempunyai hak untuk mendapatkan kewarganegaraan melalui
pendaftaran adalah: British Dependent Territories; Britisht Overseas Citizens;
Britisht Subjects; dan British Protected Persons yang memenuhi persyaratan
tinggal (residence requirements) menurut ketentuan Section 4 Act of 1981.
Pendaftaran juga dimungkinkan bagi mereka yang terkait dengan ketentuan
peralihan UU Tahun 1981 (Act of 1981) yang sejak dulunya seharusnya sudah
terdaftar sebagai warga negara Inggris, yaitu: by virtue of residence (section 7);
dalam hal wanita yang kawin dengan warga negara Inggris (section 8);
dan dengan pendaftaran di konsulat Inggris di luar negeri (section 9).
Kelima, citizenship by incoporporation of territory yaitu proses
pewarganegaraan karena terjadinya perluasan wilayah negara. Misalnya,
ketika Timor Timur menjadi wilayah negara Republik Indonesia, maka proses
pewarganegaraan warga Timor Timur itu dilakukan melalui prosedur yang
khusus ini. Sebenarnya, secara teknis, metode terakhir ini dapat juga disebut
sebagai variasi metode pewarganegaraan bedasarkan pendaftaran atau
citizenship by registration seperti yang telah diuraikan di atas.
Bagaimana seseorang dapat kehilangan kewarganegaraannya? Pasal
23 UU No. 12 Tahun 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik
43
Indonesia menyatakan bahwa warga Negara Indonesia kehilangan
kewarganegaraannya jika yang bersangkutan:
1. Memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;
2. Tidak menolak atau tidak melepaskan kewarganegaraan lain,
sedangkan orang yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk itu;
3. Dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas
permohonannya sendiri, yang bersangkutan sudah berusia 18 (delapan
belas) tahun atau sudah kawin, bertempat tinggal di luar negeri, dan
dengan dinyatakan hilang Kewarganegaraan Republik Indonesia tidak
menjadi tanpa kewarganegaraan;
4. Masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden;
5. Secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yang jabatan dalam
dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan hanya dapat dijabat oleh Warga Negara Indonesia;
6. Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia
kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut;
7. Tidak diwajibkan tetapi turut serta dalam pemilihan sesuatu yang
bersifat ketatanegaraan untuk suatu negara asing;
8. Mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing
atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang
masih berlaku dari negara lain atas namanya; atau
9. Bertempat tinggal di Iuar wilayah negara Republik Indonesia selama
5 (lima) tahun terus-menerus bukan dalam rangka dinas negara, tanpa
alasan yang sah dan dengan sengaja tidak menyatakan keinginannya
untuk tetap menjadi Warga Negara Indonesia sebelum jangka waktu 5
(lima) tahun itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yang
bersangkutan tidak mengajukan pernyataan ingin tetap menjadi Warga
Negara Indonesia kepada Perwakilan Republik Indonesia yang wilayah
44
kerjanya meliputi tempat tinggal yang bersangkutan padahal Perwakilan
Republik Indonesia tersebut telah memberitahukan secara tertulis kepada
yang bersangkutan, sepanjang yang bersangkutan tidak menjadi tanpa
kewarganegaraan;
E. Hak dan Kewajiban Warga Negara
Hak warga negara adalah sesuatu yang dapat dimiliki oleh warga
negara dari negaranya. Hak warga negara dapat juga disebut sebagai hak
konstitusional warga negara (citizen‟s constitutional right), yaitu hak warga
negara yang secara konstitusional diatur dalam konstitusi atau
perundang-undangan. Sedangkan kewajiban warga negara adalah sesuatu
yang harus dilakukan oleh warga Negara.
Kewajiban warga negara ini juga ditetapkan oleh konstitusi atau
perundang- undangan. Lalu apa saja hak warga negara Indonesia itu?
Dalam ketentuan UUD 1945 dirumuskan hak-hak yang dimiliki warga
negara Indonesia sebagaimana uraian berikut:
1. Hak memperoleh kedudukan yang sama di dalam hukum dan
pemerintahan: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya” (Pasal 27 ayat 1)
2. Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak: “Tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” (Pasal 27
ayat 2)
3. Hak dalam pembelaan negara: “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta
dalam upaya pembelaan negara”. (Pasal 27 ayat 3)
4. Hak berserikat, berkumpul serta mengeluarkan pikiran: “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang” (Pasal 28)
45
5. Hak kemerdekaan memeluk agama: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa” (Pasal 29 ayat 1), dan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu” (Pasal 29 ayat 2)
6. Hak mendapatkan pendidikan “Setiap Warga negara berhak mendapat
pendidikan” (Pasal 31 ayat 1)
7. Hak untuk mendapatkan Kesejahteraan sosial: Pasal 33 UUD 1945 ayat
(1), (2), (3), (4), dan (5):
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi
dengan prinsip kebersamaan, effisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam
undang-undang.
8. Hak mendapatkan jaminan keadilan sosial: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara” (Pasal 34 ayat 1)
Disamping mengatur tentang hak-hak yang dimiliki setiap warga
negara, ketentuan UUD 1945 juga mengatur tentang kewajiban warga negara
Indonesia sebagai berikut:
1. Wajib menaati hukum dan pemerintahan: “Segala warga negara
bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
46
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya” (Pasal
27 ayat 1)
2. Wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara: “Setiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara” (Pasal 27 ayat 3)
3. Wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara: “Tiaptiap
warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan
keamanan negara” (Pasal 30 ayat 1)
4. Wajib mengikuti pendidikan dasar: “Setiap warga negara wajib mengikuti
pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya” (Pasal 31 ayat 2)
47
BAB IV
DEMOKRASI
A. Pengertian Demokrasi
Kebanyakan orang mungkin sudah terbiasa dengan istilah demokrasi.
Secara etimologis, kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani “demos” berarti
rakyat dan “kratos” berarti kekuasaan atau berkuasa. Dengan demikian,
demokrasi artinya pemerintahan oleh rakyat, dimana kekuasaan tertinggi
berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau oleh
wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Dalam
ucapan Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke-16 (periode 1861-
1865) demokrasi secara sederhana diartikan sebagai “the government from the
people, by the people, and for the people”, yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat.
Kebebasan dan demokrasi sering dipakai secara timbal balik, tetapi
keduanya tidak sama. Menurut Alamudi (1991) demokrasi sesungguhnya
adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tetapi juga
mencakup seperangkat praktik dan prosedur yang terbentuk melalui
sejarah panjang dan sering berliku-liku, sehingga demokrasi sering disebut
suatu pelembagaan dari kebebasan. Karena itu, mungkin saja mengenali
dasar-dasar pemerintahan konstitusional yang sudah teruji oleh zaman, yakni
hak asasi dan persamaan di depan hukum yang harus dimiliki setiap
masyarakat untuk secara pantas disebut demokrasi. Menurut The Advancced
Learner‟s Dictionary of Current English, demokrasi adalah:
(1) country with principles of government in which all adult citizens share
through their ellected representatatives; (2) country with government
which encourages and allows rights of citizenship such as freedom of speech,
religion, opinion, and association, the assertion of rule of law, majority rule,
accompanied by respect for the rights of minorities. (3) society in which there
is treatment of each other by citizens as equals.
48
Dari kutipan pengertian tersebut tampak bahwa kata demokrasi
merujuk kepada konsep kehidupan negara atau masyarakat dimana warga
negara dewasa turut berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya
yang dipilih; pemerintahannya mendorong dan menjamin kemerdekaan
berbicara, beragama, berpendapat, berserikat, menegakkan rule of law, adanya
pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok minoritas;
dan masyarakat yang warganegaranya saling memberi peluang yang sama.
Istilah demokrasi, pertama kali dipakai di Yunani Kuno, khususnya di
kota Athena sekitar abad ke-6 sampai abad ke-3 SM untuk menunjukkan
sistem pemerintahan yang berlaku di sana. Kota-kota di daerah Yunani pada
waktu itu kecil-kecil. Penduduknya tidak begitu banyak sehingga mudah
dikumpulkan oleh pemerintah dalam suatu rapat untuk bermusyawarah.
Sekitar 5000-6000 orang berkumpul secara fisik dalam sebuah majelis untuk
menyelenggarakan rapat guna menjalankan demokrasi langsung. Dalam
rapat itu diambil keputusan bersama mengenai garis-garis besar
kebijaksanaan pemerintah yang akan dilaksanakan dan segala permasalahan
mengenai kemasyarakatan. Karena rakyat ikut serta secara langsung,
pemerintah itu disebut pemerintahan demokrasi langsung.
Tetapi dalam perjalanan sejarah, kota-kota terus berkembang dan
penduduknya pun terus bertambah sehingga demokrasi langsung tidak lagi
diterapkan karena:
1. Tempat yang dapat menampung seluruh warga kota yang jumlahnya
besar tidak mungkin disediakan.
2. Musyawarah yang baik dengan jumlah peserta yang besar tidak
mungkin dilaksanakan.
3. Hasil persetujuan secara bulat atau mufakat tidak mungkin tercapai
karena sulitnya memungut suara dari semua peserta yang hadir.
49
Bagi negara-negara besar yang penduduknya berjuta-juta, yang tempat
tinggalnya bertebaran di beberapa daerah atau kepulauan, penerapan
demokrasi langsung juga mengalami kesukaran. Karena itu, untuk
memudahkan pelaksanaannya setiap penduduk dalam jumlah tertentu
memilih wakilnya untuk duduk dalam suatu badan perwakilan. Wakilwakil
rakyat yang duduk dalam badan perwakilan inilah yang kemudian
menjalankan demokrasi. Rakyat tetap merupakan pemegang kekuasaan
tertinggi. Hal ini disebut demokrasi tidak langsung atau demokrasi
perwakilan. Bagi negara-negara modern, demokrasi tidak langsung
dilaksanakan karena hal-hal berikut.
1. Penduduk yang selalu bertambah sehingga suatu musyawarah pada
suatu tempat tidak mungkin dilakukan.
2. Masalah yang dihadapi oleh suatu pemerintah makin rumit dan tidak
sederhana lagi seperti yang dihadapi oleh pemerintah desa yang
tradisional.
3. Setiap warga negara mempunyai kesibukan sendiri-sendiri di dalam
mencukupi kehidupannya sehingga masalah pemerintahan cukup
diserahkan kepada orang yang berminat dan mempunyai keahlian di
bidang pemerintahan negara.
Istilah demokrasi yang berarti pemerintah rakyat itu, sesudah
zaman Yunani Kuno, tidak disebut lagi. Baru setelah meletusnya Revolusi
Amerika dan Revolusi Perancis, istilah demokrasi muncul kembali sebagai
lawan sistem pemerintahan yang absolut (monarki mutlak), yang menguasai
pemerintahan di dunia Barat sebelumnya.
Dalam kenyataannya, demokrasi dalam arti sistem pemerintahan yang
baru ini mempunyai arti yang luas, mula-mula demokrasi berarti politik
yang mencakup pengertian tentang pengakuan hak-hak asasi manusia,
seperti hak kemerdekaan pers, hak berapat, serta hak memilih dan dipilih
50
untuk bedan-badan perwakilan. Kemudian, digunakan istilah demokrasi
dalam arti luas, yang selain meliputi sistem politik, juga mencakup sistem
ekonomi dan sistem sosial.
Dewasa ini, bentuk demokrasi yang paling umum adalah demokrasi
perwakilan. Para warganya memilih pejabat-pejabat untuk membuat
keputusan politik yang rumit, merumuskan undang-undang dan
menjalankan program untuk kepentingan umum. Atas nama rakyat, pejabatpejabat
itu dapat berunding mengenai berbagai isu masyarakat yang rumit
lewat cara bijaksana dan sistematis, membutuhkan waktu dan tenaga, yang
sering tidak praktis bagi sebagian besar warga negara biasa.
Landasan pokok atau gagasan dasar suatu pemerintah demokrasi ialah
pengakuan hakikat manusia, yaitu bahwa pada dasarnya manusia itu
mempunyai kemampuan yang sama dalam hubungannya antara yang satu
dan yang lain. Berdasarkan gagasan dasar itu, dapat ditarik dua buah asas
pokok sebagai berikut:
1. Pengakuan partisipasi di dalam pemerintahan, misalnya pemilihan wakilwakil
rakyat untuk lembaga perwakilan rakyat secara bebas dan rahasia
2. Pengakuan hakikat dan martabat manusia, misalnya tindakan
Pemerintah untuk melindungi hak-hak asasi manusia demi kepentingan
bersama.
Sebagai suatu sistem sosial kenegaraan, United States
Information Agencies dan Dinas Penerangan Amerika Serikat (USIS)
(1999:5) mengintisarikan demokrasi sebagai sistem yang memiliki 11 (sebelas)
pilar atau soko guru, yakni:
1. Kedaulatan rakyat
2. Pemerintah berdasarkan persetujuan dari yang diperintah
3. Kekuasaan mayoritas
4. Hak-hak minoritas
51
5. Jaminan hak-hak asasi manusia
6. Pemilihan yang bebas dan jujur
7. Persamaan di depan hokum
8. Proses hukum yang wajar
9. Pembatasan pemerintahan secara konstitusional
10. Pluralisme sosial, ekonomi dan politik
11. Nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kerjasama dan mufakat
Sementara itu, dalam konteks Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Sanusi (2006) mengetengahkan sepuluh pilar demokrasi yang
dipesankan oleh para pembentuk negara (the founding fathers) sebagaimana
diletakkan di dalam UUD 1945 sebagai berikut:
1. Demokrasi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Esensinya adalah seluruh sistem serta perilaku dalam menyelenggarakan
kenegaraan RI haruslah taat asas, konsisten, atau sesuai dengan nilai-nilai
dan kaidah-kaidah dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Demokrasi dengan kecerdasan
3. Demokrasi harus dirancang dan dilaksanakan oleh segenap rakyat dengan
pengertian-pengertiannya yang jelas, dimana rakyat sendiri turut terlibat
langsung merumuskan substansinya, mengujicobakan disainnya, menilai
dan menguji keabsahannya. Sebab UUD 1945 dan demokrasinya bukanlah
seumpama final product yang tinggal mengkonsumsi saja, tetapi
mengandung nilai-nilai dasar dan kaidah-kaidah dasar untuk suprastruktur
dan infra-struktur sistem kehidupan bernegara bangsa
Indonesia. Nilai- nilai dan kaidah-kaidah dasar ini memerlukan
pengolahan secara seksama. Rujukan yang mengenai kehidupan
bernegara dan berbangsa tidak dimaksudkan untuk diperlakukan hanya
sebagai kumpulan dogma-dogma saja, melainkan harus ditata dengan
52
menggunakan akal budi dan akal pikiran yang sehat. Pengolahan itu
harus dilakukan dengan cerdas.
4. Demokrasi yang berkedaulatan rakyat
Demokrasi menurut UUD 1945 ialah demokrasi yang berkedaulatan
rakyat, yaitu kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat. Secara
prinsip, rakyatlah yang memiliki atau memegang kedaulatan itu.
Kedaulatan itu kemudian dilaksanakan menurut undang-undang dasar.
5. Demokrasi dengan rule of law
Negara adalah organisasi kekuasaan, artinya organisasi yang memiliki
kekuasaan dan dapat menggunakan kekuasaan itu dengan paksa. Dalam
negara hukum, kekuasaan dan hukum itu merupakan kesatuan
konsep yang integral dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Implikasinya
adalah kekuasaan negara harus punya legitimasi hukum. Esensi dari
demokrasi dengan rule of law adalah bahwa kekuasaan negara harus
mengandung, melindungi, serta mengembangkan kebenaran hukum (legal
truth). Kekuasaan negara memberikan keadilan hukum (legal justice)
bukan demokrasi yang terbatas pada keadilan formal dan kepura- puraan.
Kekuasaan negara menjamin kepastian hukum (legal security), dan
kekuasaan ini mengembangkan manfaat atau kepentingan hukum
(legal interest) seperti kedamaian dan pembangunan. Esensi lainnya
adalah bahwa seluruh warga negara memiliki kedudukan yang sama di
hadapan hukum, memiliki akses yang sama kepada layanan hukum.
sebaliknya, seluruh warga negara berkewajiban mentaati semua peraturah
hukum.
6. Demokrasi dengan pembagian kekuasaan Negara
Demokrasi dikuatkan dengan pembagian kekuasaan negara dan
diserahkan kepada badan-badan negara yang bertanggung jawab menurut
undang- undang dasar.
53
7. Demokrasi dengan hak azasi manusia
Demokrasi menurut UUD 1945 mengakui hak asasi manusia yang
tujuannya bukan saja menghormati hak-hak asasi, melainkan untuk
meningkatkan martabat dan derajat manusia seutuhnya. Hak asasi
manusia bersumber pada sifat hakikat manusia yang diberikan oleh
Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia bukan diberikan oleh
negara atau pemerintah. Hak ini tidak boleh dirampas atau diasingkan
oleh negara dan atau oleh siapapun.
8. Demokrasi dengan peradilan yang merdeka
Lembaga peradilan merupakan lembaga tertinggi yang menyuarakan
kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum. Lembaga ini merupakan
pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka (independent). Ia tidak
boleh diintervensi oleh kekuasaan apapun. Kekuasaan yang merdeka ini
memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada semua pihak yang
berkepentingan untuk mencari dan menemukan hukum yang seadiladilnya.
Di muka pengadilan, semua pihak mempunyai hak dan
kedudukan yang sama.
9. Demokrasi dengan otonomi daerah
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Hal ini merupakan pelaksanaan amanat UUD 1945 yang
mengatur bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerahdaerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan
kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan daerah (Pasal 18
UUD 1945).
10. Demokrasi dengan kemakmuran
54
Demokrasi bukan sekedar soal kebebasan dan hak, bukan sekedar soal
kewajiban dan tanggung jawab, bukan pula sekedar soal mengorganisir
kedaulatan rakyat atau pembagian kekuasaan. Demokrasi bukan pula
sekedar soal otonomi daerah dan keadilan hukum. sebab berbarengan
dengan itu semua, demokrasi menurut UUD 1945 ternyata ditujukan
untuk membangun negara berkemakmuran/kesejahteraan (welfare state)
oleh dan untuk sebesar-besarnya rakyat Indonesia.
11. Demokrasi yang berkeadilan sosial
Demokrasi menurut UUD 1945 menggariskan keadilan sosial diantara
berbagai kelompok, golongan, dan lapisan masyarakat. Keadilan sosial
bukan soal kesamarataan dalam pembagian output materi dan sistem
kemasyarakatan. Keadilan sosial justru lebih merujuk pada keadilan
peraturan dan tatanan kemasyarakatan yang tidak diskriminatif untuk
memperoleh kesempatan atau peluang hidup, tempat tinggal, pendidikan,
pekerjaan, politik, administrasi pemerintahan, layanan birokrasi,
bisnis, dan lain-lain.
B. Demokratisasi
Demokratisasi adalah penerapan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip
demokrasi pada setiap kegiatan politik kenegaraan. Tujuannya adalah
terbentuknya kehidupan politik yang bercirikan demokrasi.
Demokratisasi merujuk pada proses perubahan menuju sistem pemerintahan
yang lebih demokratis (Winarno, 2007:97). Proses demokratisasi ini menurut
Huntingthon (2001) harus melalui tiga tahap, yaitu pengakhiran rezim
nondemokratis, pengukuhan rezim demokratis, dan pengkonsolidasian
sistem yang demokratis.
Bagaimanakah karakteristik proses demokratisasi tersebut? Maswadi
Rauf (1997) mengemukakan karakteristiknya sebagai berikut:
55
1. Demokratisasi berlangsung secara evolusioner, artinya berlangsung dalam
waktu yang lama, berjalan secara perlahan, bertahan, dan bagian demi
bagian. Karenanya, mengembangkan nilai demokrasi dan membentuk
lembaga-lembaga demokrasi tidak dapat dilakukan secepat mungkin dan
segera selesai.
2. Proses perubahan secara persuasif, bukan koersif, artinya demokratisasi
dilakukan bukan dengan paksaan, kekerasan atau tekanan, melainkan
dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan setiap warga negara.
Perbedaan pandangan diselesaikan dengan baik tanpa kekerasan. Karena
itu, sikap pemaksaan, pembakaran, dan perusakan bukanlah cara yang
demokratis.
3. Demokratisasi adalah proses yang tidak pernah selesai, artinya ia
berlangsung terus menerus. Demokrasi adalah suatu yang ideal yang
tidak bisa tercapai. Negara yang benar-benar demokrasi tidak ada, tetapi
negara sedapat mungkin mendekati kriteria demokrasi.
4. Demokratisasi, juga merupakan proses menegakkan nilai-nilai demokrasi
sehingga sistem politik demokratis dapat terbentuk secara bertahap. Nilainilai
demokrasi sesungguhnya merupakan nilai-nilai yang diperlukan
untuk mengembangkan pemerintahan demokratis. Berdasarkan nilai atau
kondisi inilah, sebuah pemerintahan demokratis dapat ditegakkan.
Sebaliknya, tanpa adanya kondisi ini, pemerintah tersebut akan sulit
ditegakkan.
Beberapa ahli mengemukakan nilai-nilai demokrasi yang diperlukan
untuk mengembangkan pemerintahan demokratis. Henry B. Mayo
sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo (1990) mengemukakan
delapan nilai-nilai demokrasi, yaitu sebagai berikut:
1. Penyelesaian pertikaian-pertikaian secara damai dan sukarela
56
2. Menjamin terjadinya perubahan secara damai dalam suatu
masyarakat yang selalu berubah
3. Pergantian penguasa dengan teratur
4. Penggunaan paksaan sesedikit mungkin
5. Pengakuan dan penghormatan terhadap nilai keanekaragaman
6. Menegakkan keadilan
7. Memajukan ilmu pengetahuan
8. Pengakuan dan penghormatan terhadap kebebasan
Pendapat lain dikemukakan oleh Nurcholis Madjid (ICCE, 2005) yang
menyebutkan adanya tujuh pandangan hidup demokratis sebagai berikut:
1. Kesadaran akan pluralism
2. Prinsip musyawarah
3. Adanya pertimbangan moral
4. Permufakatan yang jujur dan adil
5. Pemenuhan segi-segi ekonomi
6. Kerjasama antarwarga
7. Pandangan hidup demokratis sebagai unsur yang menyatu dengan
sistem pendidikan
Asykuri Ibn Chamim, dkk (2003) juga menguraikan nilai-nilai
demokrasi yang diperlukan untuk membentuk pemerintahan yang
demokratis sebagai berikut: kebebasan (berpendapat, berkelompok,
berpartisipasi), menghormati orang/kelompok lain, kesetaraan, kerjasama,
persaingan, dan kepercayaan. Nilai- nilai tersebut dijelaskan pada bagian
berikut.
Kebebasan menyatakan pendapat adalah hak bagi warga negara
biasa yang wajib dijamin dengan undang-undang dalam sebuah
sistem politik demokratis (Dahl, 1971). Kebebasan ini diperlukan karena
kebutuhan untuk menyatakan pendapat senantiasa muncul dari setiap warga
57
negara dalam era pemerintahan terbuka saat ini. Hak untuk menyampaikan
pendapat ini wajib dijamin oleh pemerintah sesuai dengan undang-undang
yang berlaku sebagai bentuk kewajiban negara untuk melindungi warga
negaranya yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah atau unsur
swasta. Semakin cepat dan efektif cara pemerintah memberikan tanggapan,
semakin tinggi pula kualitas demokrasi pemerintah tersebut.
Kebebasan berkelompok. Berkelompok dalam suatu organisasi
merupakan nilai dasar demokrasi yang diperlukan bagi setiap warga negara
(Dahl, 1971). Kebebasan berkelompok ini diperlukan untuk membentuk
organisasi kemahasiswaan, partai politik, organisasi massa, perusahaan, dan
kelompok- kelompok lain. Kebutuhan berkelompok merupakan naluri dasar
manusia yang tak mungkin diingkari. Masyarakat primitif berkelompok
dalam mencari makan dan perlindungan dari kejaran hewan liar maupun
kelompok lain yang jahat. Dalam era modern, kebutuhan berkelompok ini
tumbuh semakin kuat. Persoalan- persoalan yang muncul di tengah
masyarakat yang sedemikian kompleks seringkali memerlukan organisasi
untuk menemukan jalan keluar.
Demokrasi menjamin kebebasan warga negara untuk berkelompok,
termasuk membentuk partai politik baru maupun mendukung partai
politik apapun. Tidak ada lagi keharusan mengiktui ajakan dan intimidasi
pemerintah. Tak ada lagi ketakutan untuk menyatakan afiliasinya ke dalam
partai politik selain partai penguasa/pemerintah. Demokrasi memberikan
alternatif yang lebih banyak dan lebih sehat bagi warga negara. Itu semua
karena jaminan bahwa demokrasi mendukung kebebasan berkelompok.
Kebebasan berpartisipasi sesungguhnya merupakan gabungan dari
kebebasan berpendapat dan berkelompok. Beberapa jenis partisipasi menurut
Patterson antara lain:
58
1. Pemberian suara dalam pemilihan umum, baik pemilihan anggota
DPR, DPD, maupun pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
2. Kontak/hubungan dengan pejabat pemerintah
3. Melakukan protes terhadap lembaga masyarakat atau pemerintah
4. Mencalonkan diri dalam pemilihan jabatan publik melalui pemilihan
sesuai dengan sistem pemilihan yang berlaku
Kesetaraan (egalitarisme) antar warga merupakan salah satu nilai
fundamental yang diperlukan bagi pengembangan demokrasi di Indonesia.
Kesetaraan ini diartikan sebagai adanya kesempatan yang sama bagi setiap
warga negara. Kesetaraan memberi tempat bagi setiap warga negara tanpa
membedakan etnis, bahasa, daerah, maupun agama. Nilai ini diperlukan bagi
masyarakat heterogen seperti Indonesia yang sangat multietnis, multibahasa,
multidaerah, dan multiagama. Heterogenitas masyarakat Indonesia
seringkali mengundang masalah, khususnya bila terjadi miskomunikasi
antar kelompok yang kemudian berkembang luas menjadi konflik.
Kesetaraan gender adalah sebuah keniscayaan demokrasi, dimana
kedudukan laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama di depan
hokum karena laki-laki dan perempuan memiliki kodrat yang sama
sebagai makhluk sosial. Laki-laki maupun perempuan memiliki akses yang
sama dalam politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Oleh karena itu,
demokrasi tanpa kesetaraan gender akan berdampak pada ketidakadilan
sosial.
Kedaulatan rakyat. Dalam negara demokrasi, rakyat memiliki
kedaulatan. Hal ini berarti bahwa rakyat berdaulat dalam menentukan
pemerintahan. Warga negara sebagai bagian dari rakyat memiliki
kedaulatan dalam pemilihan yang berujung pada pembentukan
pemerintahan. Pemerintah dengan sendirinya berasal dari rakyat dan
bertanggung jawab kepada rakyat. Rasa ketergantungan pemerintah
59
kepada rakyat inilah yang kemudian menghasilkan makna akuntabilitas.
Politisi yang akuntabel adalah politisi yang menyadari bahwa dirinya
berasal dari rakyat. Oleh karena itu, ia wajib mengembalikan apa yang
diperolehnya kepada rakyat. Kedaulatan rakyat memberi politisi mandat
untuk menjabat dan sekaligus untuk memenuhi kewajibannya sebagai wakil
rakyat yang bertanggung jawab kepada rakyat, dan bukan sekedar kepada
diri sendiri atau kelompok.
Rasa percaya (trust) antar kelompok masyarakat merupakan nilai
dasar lain yang diperlukan agar demokrasi dapat terbentuk. Sebuah
pemerintahan demokrasi akan sulit berkembang bila rasa saling percaya satu
sama lain tidak tumbuh. Bila yang ada adalah ketakutan, kecurigaan,
kekhawatiran, dan permusuhan, hubungan antar kelompok masyarakat akan
terganggu secara permanen. Kondisi ini sangat merugikan keseluruhan
sistem sosial dan politik. Jika rasa percaya tidak ada, besar kemungkinan
pemerintah akan kesulitan menjalankan agendanya, karema lemahnya
dukungan sebagai akibat dari kelangkaan rasa percaya. Dalam kondisi
seperti ini, pemerintah yang terpilih secara demokratis pun bahkan bisa
terguling dengan mudah sebelum waktunya, sehingga membuat proses
demokrasi berjalan semakin lambat.
Kerjasama diperlukan untuk mengatasi persoalan yang muncul dalam
tubuh masyarakat. Akan tetapi, kerjasama hanya mungkin terjadi jika setiap
orang atau kelompok bersedia untuk mengorbankan sebagian dari apa
yang diperoleh dari kerjasama tersebut. Kerjasama bukan berarti menutup
munculnya perbedaan pendapat antar individu atau antar kelompok. Tanpa
perbedaan pendapat, demokrasi tidak mungkin berkembang. Perbedaan
pendapat ini dapat mendorong setiap kelompok untuk bersaing satu sama
lain dalam mencapai tujuan yang lebih baik.
60
Kerjasama saja tidak cukup untuk membangun masyarakat terbuka.
Diperlukan kompetisi satu sama lain sebagai pendorong bagi kelompok
untuk meningkatkan kualitas masing-masing. Kompetisi menuju sesuatu
yang lebih berkualitas sangat diperlukan, sementara kerjasama diperlukan
bagi kelompok-kelompok untuk menopang upaya persaingan dengan
kelompok lain. Disamping itu diperlukan pula kompromi agar persaingan
menjadi lebih bermanfaat, karena dengan kompromi itulah sisi-sisi agresif
dari persaingan dapat diperhalus jadi bentuk kerjasama yang lebih baik.
Selain nilai-nilai demokrasi, untuk mewujudkan sistem politik
demokrasi, juga dibutuhkan lembaga-lembaga demokrasi yang
menopang sistem politik tersebut. Siapakah lembaga-lembaga demokrasi
itu? Miriam Budiardjo (1997) menyebutkan antara lain sebagai berikut:
1. pemerintahan yang bertanggung jawab.
2. suatu dewan perwakilan rakyat yang memiliki golongan dan
kepentingan dalam masyaraakt yang dipilih melalui pemilihan umum
yang bebas dan rahasia. Dewan ini melakukan pengawasan terhadap
pemerintah.
3. Suatu organisasi politik yang mencakup lebih dari satu partai (sistem
dua partai, multipartai). Partai menyelenggarakan hubungan yang
kontinu dengan masyarakat.
4. Pers dan media massa yang bebas untuk menyatakan pendapat.
5. Sistem peradilan yang bebas untuk menjamin hak asasi manusia dan
mempertahankan keadilan.
Berdasarkan uraian tersebut, Winarno (2007:100) mengemukakan
bahwa untuk berhasilnya demokrasi dalam suatu negara, terdapat dua hal
penting yang mesti ada. Pertama, Tumbuh dan berkembangnya nilai-nilai
demokrasi yang menjadi sikap dan pola hidup masyarakat dan
penyelenggara negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
61
(disebut kultur politik); dan Kedua, Terbentuk dan berjalannya lembaga
demokrasi dalam sistem politik dan pemerintahan (disebut struktur politik).
C. Landasan Pengembangan Demokrasi
Disamping adanya nilai-nilai demokrasi dan lembaga-lembaga
demokrasi yang menopang sistem politik demokrasi, diperlukan pula
sejumlah kondisi agar nilai-nilai tersebut dapat ditegakkan sebagai pondasi
demokrasi. Beberapa kondisi yang diperlukan untuk mengembangkan
demokrasi antara lain pertumbuhan ekonomi yang memadai, pluralisme, dan
pola hubungan negara dan masyarakat (Askuri Ibn Chamin, 2003).
Pertama, Pertumbuhan ekonomi yang memadai. Menurut Robert Dahl
(1971) faktor ekonomi dalam bentuk GNP per kapita (dollar) merupakan
salah satu faktor kondisional penentu demokrasi dalam ukuran dollar.
Menurut Dahl (1971) bahwa negara dengan GNP per kapita US $ 700
berpeluang besar membentuk sistem politik demokrasi. Walaupun demikian,
menurut Huntington (1995) kemakmuran ekonomi bukanlah satu-satunya
faktor penentu tumbuhnya demokrasi.
Kedua, Pluralisme. Masyarakat plural dipahami sebagai masyarakat
yang terdiri dari berbagai kelompok. Di dalam masyarakat plural, setiap
orang dapat bergabung dengan kelompok yang ada, tanpa adanya rintanganrintangan
sistemik yang mengakibatkan terhalangnya hak untuk
berkelompok atau bergabung dengan kelompok tertentu. Pluralisme
mengajarkan kepada kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat
untuk meningkatkan kualitas dan daya saing masing-masing kelompok.
Usaha kolektif untuk menuju kehidupan yang lebih baik dijalankan melalui
sebuah kompetisi antar kelompok dengan aturan main yang telah disepakati.
Kesadaran pluralism masyarakat ini dapat menghindarkan pecahnya konflik
antar kelompok setiap kali terjadi persaingan di dalamnya.
62
Ketiga, Pola hubungan negara dan masyarakat merupakan kondisi
lain yang menentukan kualitas pengembangan demokrasi. Demokrasi
memerlukan sebuah negara yang kuat, tetapi menghormati hukum, partai
politik, legislatif, media massa, dan rakyat pada umumnya. Negara
seperti inilah yang dapat memberi perlindungan bagi rakyatnya dan
menjadi penopang bagi pengembanga nilai-nilai demokrasi
63
BAB IV
NEGARA DAN KONSTITUSI
A. Pengertian Negara
Kata “negara” berasal dari kata state (Inggris), staat (Belanda), etat
(Perancis) yang berasal dari kata Latin status atau statum yang artinya
keadaan yang tegak dan tetap atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang
tegak dan tetap. Istilah itu umumnya diartikan sebagai kedudukan
(standing, station). Misalnya: status civitatis (kedudukan warga negara),
status republicae (kedudukan negara).
Menurut Sokrates, Plato dan Aristoteles, konsep negara telah muncul
dimulai 400 tahun sebelum masehi. Adanya negara di dalam masyarakat itu
didorong oleh dua hal, yaitu manusia sebagai makhluk sosial (animal
social/homo socius) dan manusia sebagai makhluk politik (animal politicum/zoon
politicon) (Thomas Aquinas). Sedangkan menurut Thomas Hobbes, adanya
negara itu diperlukan karena negara merupakan tempat berlindung bagi
individu, kelompok, dan masyarakat yang lemah dari tindakan individu,
kelompok, dan masyarakat, maupun penguasa yang kuat (otoriter), sebab
menurut Hobbes manusia dengan manusia lainnya memiliki sifat seperti
serigala, serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).
Dalam pengertian yang sederhana, negara dapat dipahami sebagai
suatu organisasi kekuasan dari sekelompok atau beberapa kelompok
manusia yang bersama-sama mendiami satu wilayah tertentu dan mengakui
adanya satu pemerintahan yang mengurus tata tertib serta keselamatan
sekelompok atau beberapa kelompok manusia tersebut. Beberapa ahli
mengemukakan pengertian negara menurut sudut pandang mereka masingmasing
seperti uraian berikut:
64
1. Aristoteles, merumuskan negara dalam bukunya Politica, sebagai negara
polis, karena negara masih berada dalam suatu wilayah yang kecil
sehingga warga negara dapat diikutsertakan dalam musyawarah (ecclesia).
2. Agustinus, membedakan negara dalam dua pengertian, yaitu civitas dei
yang artinya negara Tuhan, dan civitas terrena atau civitas diaboli yang
artinya negara duniawi.
3. Nicollo Machiavelli, dalam Il Principle merumuskan negara sebagai
negara kekuasaan. Ia terkenal karena ajarannya tentang tujuan yang dapat
menghalalkan segala cara.
4. Georg Jellinek, mengatakan bahwa negara adalah organisasi kekuasaan
dari sekelompok manusia yang telah berkediaman di wilayah tertentu.
5. Kranenburg, negara adalah organisasi yang timbul karena kehendak dari
suatu golongan atau bangsanya sendiri.
6. Roger F. Soultau, negara adalah alat (agency) atau wewenang (authority)
yang mengatur atau mengendalikan persoalan bersama atas nama
masyarakat.
7. Harold J. Lasky, negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan
karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan yang secara
sah lebih agung daripada individu atau kelompok, yang merupakan
bagian dari masyarakat itu.
8. George Wilhelm Frerdrich Hegel, negara merupakan organisasi kesusilaan
yang muncul sebagai sintesis dari kemerdekaan individual dan
kemerdekaan universal.
9. John Locke dan Rousseau mengatakan negara adalah suatu badan atau
organisasi hasil daripada perjanjian masyarakat.
10. Max Weber, mengatakan bahwa negara adalah suatu masyarakat yang
mempunyai monopoli dalam penggunaan kekerasan fisik secara sah
dalam suatu wilayah.
65
11. Mc Iver, menjelaskan negara adalah asosiasi yang menyelenggarakan
penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah dengan
berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah
yang demi maksud tersebut diberi kekuasaan memaksa
12. 12. Jean Bodin, negara adalah persekutuan keluarga dengan
segala kepentingannya yang dipimpin oleh akal dari suatu kuasa yang
berdaulat.
13. Soenarko, negara adalah organisasi kekuasaan masyarakat yang
mempunyai daerah tertentu dimana kekuasaan negara berlaku
sepenuhnya sebagai sovereign.
14. R. Djokosoetono, negara ialah suatu organisasi masyarakat atau kumpulan
manusia yang berada di bawah suatu pemerintahan yang sama.
15. Miriam Budiardjo, negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya
diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan berhasil menuntut dari
warga negaranya ketaatan pada peraturan perundang-undangannya
melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dan kekuasaan yang sah.
16. M. Natsir, negara adalah suatu “institution” yang mempunyai hak, tugas dan
tujuan yang khusus. Institution dalam pengertian umum adalah suatu
badan dan organisasi yang mempunyai tujuan khusus serta dilengkapi
oleh alat-alat material dan peraturan-peraturan tersendiri, dan diakui
oleh umum.
B. Unsur-Unsur Negara
Dari beberapa pengertian negara sebagaimana tersebut di atas, kita
dapat mengidentifikasi beberapa unsur negara. Secara teoretis, berdasarkan
Konvensi motevideo, unsur negara dapat dibedakan menjadi unsur
konstitutif dan unsur deklaratif. Pertama, unsur konstitutif adalah unsur
pembentuk yang harus dipenuhi agar terbentuk negara. Unsur ini terdiri
atas:
66
1. Wilayah, yaitu daerah yang menjadi kekuasaan negara serta menjadi
tempat tinggal bagi rakyat negara. Wilayah juga menjadi sumber
kehidupan rakyat negara. Wilayah negara mencakup darat, laut, dan
udara.
2. Rakyat, yaitu orang-orang yang bertempat tinggal di wilayah itu,
tunduk pada kekuasaan negara dan mendukung negara yang
bersangkutan.
3. Pemerintahan yang berdaulat, yaitu adanya penyelenggara negara yang
memiliki kekuasaan menyelenggarakan pemerintahan di negara tersebut.
Pemerintah tersebut memiliki kedaulatan baik ke dalam mau pun keluar.
Kedaulatan ke dalam berarti negara memiliki kekuasaan untuk ditaati
oleh rakyatnya. Kedaulatan keluar berarti negara mampu
mempertahankan diri dari serangan negara lain.
4. Kedua, unsur deklaratif adalah unsur yang sifatnya menyatakan,
bukan mutlak harus dipenuhi. Unsur ini terdiri atas:
a. Tujuan Negara
b. Undang Undang Dasar
5. Pengakuan dari negara lain, baik secara “de jure” maupun “de facto”, sebagai
contoh, Pemerintah Mesir mengakui kedaulatan pemerintah RI atas
Indonesia pada 22 Maret 1946. Dengan begitu Mesir tercatat sebagai
negara pertama yang mengakui proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Setelah itu menyusul Syria, Iraq, Lebanon, Yaman, Saudi
Arabia dan Afghanistan. Selain negara-negara tersebut, Liga Arab juga
berperan penting dalam Pengakuan RI. Secara resmi keputusan sidang
Dewan Liga Arab tanggal 18 November 1946 menganjurkan kepada
semua negara anggota Liga Arab supaya mengakui Indonesia sebagai
negara merdeka yang berdaulat. Alasan Liga Arab memberikan
67
dukungan kepada Indonesia merdeka didasarkan pada ikatan
keagamaan, persaudaraan serta kekeluargaan.
6. Masuknya negara tersebut ke dalam PBB. Indonesia bergabung ke dalam
Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 28 September 1950. Karena adanya
konflik antara Indonesia dan Malaysia dan setelah Malaysia terpilih untuk
masuk Dewan Keamanan PBB, Soekarno menarik Indonesia dari PBB
pada tanggal 20 Januari 1965. Pada saat kepemimpinan Suharto pada
tahun 1966, Indonesia kembali meminta masuk keanggotaan PBB melalui
pesan yang disampaikan kepada Sekretaris Jendral.
C. Sifat-Sifat Negara
Negara memiliki sifat-sifat khusus sebagai manifestasi dari kedaulatan
yang dimilikinya dan yang hanya terdapat pada negara saja, tidak terdapat
pada asosiasi atau organisasi lainnya. Secara umum, setiap negara memiliki
sifat memaksa, memonopoli, dan sifat mencakup semua (Budiardjo, 1998:40).
1. Sifat memaksa, agar peraturan perundang-undangan ditaati dan
dengan demikian penertiban dalam masyarakat tercapai serta
timbulnya anarki dicegah, maka negara memiliki kekuasaan untuk
memaksakan kehendak dan kekuasaannya untuk menyelenggarakan
ketertiban, baik dengan memakai kekerasan fisik maupun melalui jalur
hukum (legal). Sarana untuk itu adalah polisi, tentara, dan sebagainya.
2. Sifat monopoli, artinya negara memiliki hak menetapkan tujuan bersama
masyarakat. Dalam hal ini, negara memiliki hak untuk melarang sesuatu
yang bertentangan dan menganjurkan sesuatu yang dibutuhkan
masyarakat.
3. Sifat mencakup semua (all encompassing, all embracing, totaliter), artinya
semua peraturan dan kebijakan negara berlaku untuk semua orang tanpa
kecuali.
68
D. Fungsi dan Tujuan Negara
Fungsi negara dapat dikatakan juga sebagai tugas negara. Negara
sebagai organisasi kekuasaan dibentuk untuk menjalankan tugas-tugas
tertentu. Beberapa ahli merumuskan fungsi negara dalam sudut pandang
yang berbeda. John Locke, membedakan fungsi negara menjadi tiga fungsi,
yaitu: Fungsi legislatif (membuat peraturan), fungsi eksekutif (melaksanakan
peraturan), dan fungsi federatif (mengurusi urusan luar negeri dan urusan
perang dan damai). Montesquieu juga mengemukakan tiga fungsi negara,
yang populer dengan nama Trias Politica, yaitu: fungsi legislatif (yaitu
membuat undang-undang), fungsi eksekutif (melaksanakan undang-undang)
dan fungsi yudikatif (untuk mengawasi agar semua peraturan ditaati atau
fungsi mengadili).
Di sisi lain, dikenal pula ajaran Catur Praja yang dikemukakan oleh
Van Vollenhoven dan ajaran Dwi Praja (dichotomy) yang dikemukakan oleh
Goodnow. Ajaran Catur Praja menyatakan bahwa fungsi negara dibagi
menjadi empat, yaitu fungsi regeling (membuat peraturan), fungsi bestuur
(menyelenggarakan pemerintahan), fungsi rechtspraak (fungsi mengadili) dan
fungsi politie (fungsi ketertiban dan keamanan). Sedangkan ajaran Dwi Praja
membagi fungsi negara menjadi dua bagian, yaitu: 1) policy making
(kebijaksanaan negara untuk waktu tertentu, untuk seluruh masyarakat); dan
2) policy executing (kebijaksanaan yang harus dilaksanakan untuk tercapainya
policy making).
Menurut Miriam Budiarjdjo, pada dasarnya fungsi pokok negara terbagi
menjadi empat bagian, yaitu:
1. Melaksanakan penertiban (law and order) untuk mencapai tujuan bersama
dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat. Dalam fungsinya
ini, dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator.
69
2. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya. Fungsi ini
dijalankan dengan melaksanakan pembangunan di segala bidang.
3. Pertahanan, hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan
dari luar. Untuk ini negara dilengkapi dengan alat-alat pertahanan.
4. Menegakkan keadilan. Hal ini dilaksanakan melalui badan-badan
pengadilan
Dari beberapa pendapat di atas, dapat dikemukakan fungsi negara
sebagai berikut:
1. Pertahanan dan keamanan: negara melindungi rakyat, wilayah dan
pemerintahan dari ancaman, tantangan, hambatan, gangguan.
2. Pengaturan dan ketertiban: membuat undang-undang, peraturan
pemerintah.
3. Kesejahteraan dan kemakmuran: mengeksplorasi sumber daya alam
(SDA) dan dumber daya manusia (SDM) untuk kesejahteraan dan
kemakmuran.
4. Keadilan menurut hak dan kewajiban: menciptakan dan menegakan
hukum dengan tegas dan tanpa pilih kasih.
Keseluruhan fungsi negara tersebut, diselenggarakan oleh negara
untuk mencapai tujuan negara. Menurut Roger H Soltou, tujuan negara adalah
memungkinkan rakyatnya berkembang serta menyelenggarakan daya
ciptanya sebebas mungkin. Menurut Plato, tujuan negara adalah memajukan
kesusilaan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.
Thomas Aquino dan Agustinus berpendapat bahwa tujuan negara adalah untuk
mencapai penghidupan dan kehidupan aman dan tenteram dengan taat
kepada dan di bawah pimpinan Tuhan.
Dalam hal ini, Pemimpin negara menjalankan kekuasaan hanyalah
berdasarkan kekuasaan Tuhan. Sedangkan Harold J. Laski, mengemukakan
70
bahwa tujuan negara adalah menciptakan keadaan dimana rakyatnya dapat
mencapai terkabulnya keinginan-keinginan secara maksimal.
E. Pengertian Konstitusi
Istilah konstitusi dalam bahasa Indonesia menurut Rukman
Amanwinata (Chaidir, 2007:21) berpadanan dengan kata “constitution” (bahasa
Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda), “constitutionel” (bahasa Prancis),
“verfassung” (bahasa Jerman), “constitutio” (bahasa Latin), “fundamental laws”
(Amerika Serikat). Selain istilah konstitusi, dikenal pula Undang-Undang
Dasar (bahasa Belanda Grondwet). Perkataan wet diterjemahkan menjadi
undang-undang, dan grond berarti tanah/dasar (Dahlan Thaib, dkk, 2006:7).
Bagi mereka yang memandang negara dari sudut kekuasaan dan
menganggapnya sebagai organisasi kekuasaan, maka UUD dapat dipandang
sebagai lembaga atau kumpulan asas yang menetapkan bagaimana
kekuasaan dibagi antara beberapa lembaga kenegaraan, misalnya antara
badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. UUD menentukan cara bagaimana
pusat-pusat kekuasaan ini bekerja sama dan menyesuaikan diri satu sama
lain, UUD merekam hubungan- hubungan kekuasaan dalam suatu negara.
E.C.S Wade mengartikan UUD sebagai naskah yang memaparkan rangka dan
tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan
menentukan pokok-pokoknya cara kerja badan- badan tersebut (Dahlan
Thaib, dkk 2006:9).
Terhadap istilah konstitusi dan UUD ini, beberapa ahli berbeda
pendapat. Ada sebagian ahli yang secara tegas membedakan keduanya, ada
juga yang menganggapnya sama. L.J Van Apeldoorn salah satunya,
membedakan secara jelas. Menurutnya, Istilah UUD (grondwet) adalah bagian
tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan constitution (konstitusi) memuat baik
peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis. Sedangkan Sri Soemantri
(1987:1) mengartikan konstitusi sama dengan UUD.
71
Apa sebenarnya konstitusi itu? Menurut Brian Thompson (1997:3),
secara sederhana pertanyaan what is a constitution dapat dijawab bahwa
“…a constitution is a document which contains the rules for the operation of an
organization”. Bagi setiap organisasi kebutuhan akan naskah konstitusi tertulis itu
merupakan sesuatu yang niscaya, terutama dalam organisasi yang
berbentuk badan hukum (legal body, rechtspersoon). Demikian pula negara,
pada umumnya, selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi
atau Undang-Undang Dasar.
Dalam pengertian modern, negara pertama yang dapat
dikatakan menyusun konstitusinya dalam satu naskah UUD seperti sekarang
ini adalah Amerika Serikat (United States of America) pada tahun 1787. Sejak
itu, hampir semua negara menyusun naskah undang-undang dasarnya.
Beberapa negara yang dianggap sampai sekarang dikenal tidak memiliki
Undang-Undang Dasar dalam satu naskah tertulis adalah Inggris, Israel, dan
Saudi Arabia. Undang-Undang Da- sar di ketiga negara ini tidak pernah
dibuat tersendiri, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dari aturan dan
pengalaman praktik ketatanegaraan.
Namun, para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam
konteks hukum tata negara Inggris, yaitu sebagaimana dikemukakan oleh
Phillips Hood and Jackson (Asshiddiqie, 2005) sebagai: a body of laws,
customs and conventions that define the composition and powers of the organs of the
State and that regulate the relations of the various State organs to one another and to
the private citizen. Dengan demikian, menurut Asshiddiqie (2005) ke dalam
konsep konstitusi itu tercakup juga pengertian peraturan tertulis, kebiasaan,
dan konvensi-konvensi kenegaraan (ketatanegaraan) yang menentukan
susunan dan kedudukan organ- organ negara, mengatur hubungan antara
organ-organ negara itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara
72
tersebut dengan warga negara. Inilah pengertian yang cukup mewakili dan
komprehensif tentang konstitusi.
Dari beberapa pengertian konstitusi tersebut, kita dapat melihat bahwa
hampir semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat
perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang perlu diatur
dan dibatasi se- bagaimana mestinya. Constitutions, menurut Ivo D.
Duchacek (Asshiddiqie, 2005), adalah “identify the sources, purposes, uses and
restraints of public power” (mengidentifikasikan sumber-sumber, tujuantujuan,
penggunaan-penggunaan, dan pembatasan-pembatasan kekuasaan
umum). Pembatasan kekuasaan pada umumnya dianggap merupakan corak
umum materi konstitusi. Oleh sebab itu pula, konstitutionalisme, seperti
dikemukakan oleh Friedrich (Asshiddiqie, 2005), didefinisikan sebagai “an
institutionalised system of effective, regularized restraints upon governmental
action”. Dalam pengertian demikian, persoalan yang dianggap terpenting
dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan atau
pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan.
Selain itu, terdapat pendapat beberapa sarjana terkait dengan
pengertian dan pemahaman tentang konstitusi. Pandangan beberapa sarjana
mengenai konsti- tusi dapat dikatakan berlainan satu sama lain. Ferdinand
Lasalle (1825-1864), dalam bukunya “Uber Verfassungswessen” (1862), membagi
konstitusi dalam dua pengertian, yaitu:
1. Pengertian sosiologis dan politis (sociologische atau politische begrip).
Konstitusi dilihat sebagai sintesis antara faktor-faktor kekuatan politik
yang nyata dalam masyarakat (de riele machtsfactoren), yaitu misalnya raja,
parlemen, kabinet, kelompok-kelompok penekan (preassure groups), partai
politik, dan sebagainya. Dinamika hubungan di antara kekuatankekuatan
politik yang nyata itulah sebenarnya apa yang dipahami sebagai
konstitusi;
73
2. Pengertian juridis (juridische begrip). Konstitusi dilihat sebagai satu
naskah hukum yang memuat ketentuan dasar mengenai bangunan negara
dan sendi-sendi pemerintahan negara. (Abu Daud Busroh dan Abu Bakar
Busroh, 1991:73)
Ferdinand Lasalle sangat dipengaruhi oleh aliran pikiran kodifikasi,
sehingga menekankan pentingnya pengertian juridis mengenai konstitusi.
Disam- ping sebagai cermin hubungan antar aneka kekuatan politik yang
nyata dalam masyarakat (de riele machtsfactoren), konstitusi itu pada pokoknya
adalah apa yang tertulis di atas kertas UUD mengenai lembaga-lembaga
negara, prinsip- prinsip, dan sendi-sendi dasar pemerintahan Negara.
Ahli lain, yaitu Hermann Heller mengemukakan tiga pengertian
konstitusi yaitu:
1. Die politische verfassung als gesellschaftlich wirklichkeit. Konstitusi
dilihat dalam arti politis dan sosiologis sebagai cermin kehidupan sosialpolitik
yang nyata dalam masyarakat;
2. Die verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi dilihat dalam arti juridis
sebagai suatu kesatuan kaedah hukum yang hidup dalam masyarakat;
3. Die geschreiben verfassung. Konstitusi yang tertulis dalam suatu naskah
undang-undang dasar sebagai hukum yang tertinggi yang berlaku dalam
suatu negara. (Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988:65)
Menurut Hermann Heller, UUD yang tertulis dalam satu naskah yang
ber- sifat politis, sosiologis, dan bahkan bersifat juridis, hanyalah
merupakan salah satu bentuk atau sebagian saja dari pengertian konstitusi
yang lebih luas, yaitu konstitusi yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Artinya, di samping konstitusi yang tertulis itu, segala nilai-nilai normatif
yang hidup dalam kesadaran masyarakat luas, juga termasuk ke dalam
pengertian konstitusi yang luas itu. Oleh karena itu pula, dalam bukunya
74
“Verfassungslehre“, Hermann Heller membagi konstitusi dalam 3 (tiga) tingkatan,
yaitu:
1. Konstitusi dalam pengertian sosial-politik. Pada tingkat pertama ini,
konstitusi tumbuh dalam pengertian sosial-politik. Ide-ide konstitusional
dikembangkan karena memang mencerminkan keadaan sosial politik
dalam masyarakat yang bersangkutan pada saat itu. Konstitusi pada tahap
ini dapat digambarkan sebagai kesepakatan-kesepakatan politik yang
belum dituangkan dalam bentuk hukum tertentu, melainkan tercerminkan
dalam perilaku nyata dalam kehidupan kolektif warga masyarakat;
2. Konstitusi dalam pengertian hukum. Pada tahap kedua ini, konstitusi
sudah diberi bentuk hukum tertentu, sehingga perumusan normatifnya
menuntut pemberlakuan yang dapat dipaksakan. Konstitusi dalam
pengertian sosial- politik yang dilihat sebagai kenyataan tersebut di atas,
dianggap harus berlaku dalam kenyataan. Oleh karena itu, setiap
pelanggaran terhadapnya haruslah dapat dikenai ancaman sanksi yang
pasti;
3. Konstitusi dalam pengertian peraturan tertulis. Pengertian yang terakhir
ini merupakan tahap terakhir atau yang tertinggi dalam perkembangan
pengertian rechtsverfassung yang muncul sebagai akibat pengaruh aliran
kodifikasi yang menghendaki agar berbagai norma hukum dapat
dituliskan dalam naskah yang bersifat resmi. Tujuannya adalah untuk
maksud mencapai kesatuan hukum atau unifikasi hukum
(rechtseineheid) kesederhanaan hukum (rechtsvereenvoudiging), dan
kepastian hokum (rechtszekerheid).
Namun, menurut Hermann Heller, konstitusi tidak dapat dipersempit
maknanya hanya sebagai undang-undang dasar atau konstitusi dalam arti
yang tertulis sebagaimana yang lazim dipahami karena pengaruh aliran
75
kodifikasi. Disamping UUD yang tertulis, ada pula konstitusi yang tidak
tertulis yang hidup dalam kesadaran hukum masyarakat.
F. UUD 1945 dan Perubahannya
Konstitusi negara Indonesia adalah Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Konstitusi itu ditetapkan pada 18
Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Secara
garis besar, sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 sampai sekarang, telah berlaku
tiga macam undang- undang dasar dalam empat periode, sebagai berikut:
1. UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949), terdiri atas bagian
pembukaan, batang tubuh (16 Bab, 37 Pasal, 4 Pasal aturan peralihan, 2
ayat aturan tambahan) dan bagian penjelasan.
2. UUD RIS (27 Desember 1949-17 Agustus 1950), teridri atas 6 Bab, 197
Pasal, dan beberapa bagian.
3. UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 juli 1959), terdiri atas 6 Bab, 146 pasal,
dan beberapa bagian.
4. UUD 1945 (5 Juli 1959-sekarang)
Apabila keempat periode tersebut kita hubungkan dengan
proses perubahan UUD 1945, maka menurut Jimly Asshiddiqie (2005), bahwa
dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia merdeka, tercatat telah
beberapa upaya perubahan terhadap UUD 1945, antara lain: 1)
pembentukan UUD, 2) penggantian UUD, dan 3) perubahan dalam arti
pembaruan UUD.
Pada tahun 1945, Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk atau disusun
oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai hukum dasar bagi
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kemerdekaannya
diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada tahun 1949, ketika
bentuk Negara Republik Indonesia diubah menjadi Negara Serikat (Federasi),
76
diadakan penggantian konstitusi dari Undang-Undang Dasar 1945 ke
Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949. Demikian pula pada
tahun 1950, ketika bentuk Negara Indonesia diubah lagi dari bentuk
Negara Serikat menjadi Negara Kesatuan, Konstitusi RIS 1949 diganti
dengan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 (Asshiddiqie, 2005).
Setelah itu, mulailah diadakan usaha untuk menyusun UUD baru
sama sekali dengan dibentuknya lembaga Konstituante yang secara khusus
ditugaskan untuk menyusun konstitusi baru. Setelah Konstituante terbentuk,
diadakanlah persidangan-persidangan yang sangat melelahkan mulai tahun
1956 sampai tahun 1959, dengan maksud menyusun UUD yang bersifat tetap.
Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa usaha ini gagal diselesaikan, sehingga
pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusannya
yang dikenal dengan sebutan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara
lain membubarkan Konstituante dan menetapkan berlakunya kembali
UUD 1945 menjadi hukum dasar dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Perubahan dari UUDS Tahun 1950 ke UUD 1945 ini tidak ubahnya
bagaikan tindakan penggantian UUD juga. Karena itu, sampai dengan
berlakunya kembali UUD 1945 itu, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia
modern belum pernah terjadi perubahan dalam arti pembaruan UUD,
melainkan baru perubahan dalam arti pembentukan, penyusunan, dan
penggantian UUD. dalam arti pembaruan UUD, baru terjadi setelah bangsa
Indonesia memasuki era reformasi pada tahun 1998, yaitu setelah Presiden
Soeharto berhenti dan digantikan oleh Presiden B.J. Habibie, barulah pada
tahun 1999 dapat diadakan Perubahan terhadap UUD 1945 sebagaimana
mestinya.
Perubahan Pertama ditetapkan oleh Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 1999, disusul dengan Perubahan
77
Kedua dalam Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 dan Perubahan Ketiga dalam
Sidang Tahunan MPR Tahun 2001. Pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2002,
disahkan pula naskah Perubahan Keempat yang melengkapi naskah-naskah
Perubahan sebelumnya, sehingga keseluruhan materi perubahan itu dapat
disusun kembali secara lebih utuh dalam satu naskah UUD yang mencakupi
keseluruhan hukum dasar yang sistematis dan terpadu.
Kedua bentuk perubahan UUD seperti tersebut, yaitu penggantian
dan perubahan pada pokoknya sama-sama merupakan perubahan dalam arti
luas. Perubahan dari UUD 1945 ke Konstitusi RIS 1949, dan begitu juga dari
UUDS Tahun 1950 ke UUD 1945 adalah contoh tindakan penggantian UUD.
Sedangkan perubahan UUD 1945 dengan naskah Perubahan Pertama,
Kedua, Ketiga dan Keempat adalah contoh perubahan UUD melalui
naskah Perubahan yang tersendiri.
Disamping itu, ada pula bentuk perubahan lain seperti yang biasa
dipraktekkan di beberapa negara Eropa, yaitu perubahan yang dilakukan
dengan cara memasukkan (insert) materi baru ke dalam naskah UUD. Cara
terakhir ini, boleh jadi, lebih tepat disebut sebagai pembaruan terhadap
naskah lama menjadi naskah baru, yaitu setelah diadakan pembaruan dengan
memasukkan tambahan materi baru tersebut.
Berkenaan dengan prosedur perubahan UUD, Asshiddiqie (2005)
menjelaskan bahwa terdapat tiga tradisi yang berbeda antara satu negara
dengan negara lain. Pertama, kelompok negara yang mempunyai kebiasaan
mengubah materi UUD dengan langsung memasukkan (insert) materi
perubahan itu ke dalam naskah UUD. Dalam kelompok ini dapat disebut,
misalnya, Republik Perancis, Jerman, Belanda, dan sebagainya. Konstitusi
Perancis, misalnya, terakhir kali diubah dengan cara pembaruan yang
diadopsikan ke dalam naskah aslinya pada tanggal 8 Juli 1999 lalu, yaitu
dengan mencantumkan tambahan ketentuan pada Article 3, Article 4 dan
78
ketentuan baru Article 53-273 naskah asli Konstitusi Perancis yang biasa
disebut sebagai Konstitusi Tahun 1958. Sebelum terakhir diamandemen pada
tanggal 8 Juli 1999, Konstitusi Tahun 1958 itu juga pernah diubah beberapa
kali, yaitu penambahan ketentuan mengenai pemilihan presiden secara
langsung pada tahun 1962, tambahan pasal mengenai pertanggungjawaban
tindak pidana oleh pemerintah yaitu pada tahun 1993, dan diadakannya
perluasan ketentuan mengenai pelaksanaan referendum, sehingga naskah
Konstitusi Perancis menjadi seperti sekarang. Keseluruhan materi perubahan
itu langsung dimasukkan ke dalam teks konstitusi.
Kedua, kelompok negara-negara yang mempunyai kebiasaan
mengadakan penggantian naskah UUD. Di lingkungan negara-negara ini,
naskah konstitusi sama sekali diganti dengan naskah yang baru, seperti
pengalaman Indonesia dengan Konstitusi RIS tahun 1949 dan UUDS Tahun
1950. Pada umumnya, negara-negara demikian ini terhitung sebagai negara
yang sistem politiknya belum mapan. Sistem demokrasi yang dibangun
masih bersifat jatuh bangun, dan masih bersifat „trial and error‟. Negaranegara
miskin dan yang sedang berkembang di Asia dan Afrika,
banyakyang dapat dikategorikan masih berada dalam kondisi demikian
ini.
Tetapi pada umumnya, tradisi penggantian naskah konstitusi itu
tidaklah dianggap ideal. Praktek penggantian konstitusi itu terjadi sematamata
karena keadaan keterpaksaan. Oleh karena itu, kita perlu menyebut
secara khusus tradisi yang dikembangkan oleh Amerika Serikat sebagai
model ketiga, yaitu perubahan konstitusi melalui naskah yang terpisah dari
teks aslinya, yang disebut sebagai amandemen pertama, kedua, ketiga,
keempat, dan seterusnya. Dengan tradisi demikian, naskah asli UUD tetap
utuh, tetapi kebutuhan akan perubahan hukum dasar dapat dipenuhi
melalui naskah tersendiri yang dijadikan addendum tambahan
79
terhadap naskah asli tersebut. Dapat dikatakan, tradisi perubahan
demikian memang dipelopori oleh Amerika Serikat, dan tidak ada
salahnya negara-negara demokrasi yang lain, termasuk Indonesia untuk
mengikuti prosedur yang baik seperti itu. Perubahan UUD 1945 yang telah
berlangsung empat kali berturut-turut sampai sekarang, sesungguhnya, tidak
lain juga mengikuti mekanisme perubahan gaya Amerika Serikat itu.
Berkaitan dengan Perubahan UUD 1945, perubahan yang dilakukan
telah mengubah banyak hal dari aturan dasar kehidupan bernegara. Setelah
empat kali perubahan, sesungguhnya UUD 1945 sudah berubah sama
sekali menjadi konstitusi yang baru. Hanya nama saja yang dipertahankan
sebagai Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
sedangkan isinya sudah berubah secara besar-besaran.
Pada uraian berikut secara berturut-turut akan dijelaskan mengenai
dasar pemikiran, tujuan, dan dasar yuridis formal dari perubahan
UUD 1945. Selanjutnya akan diuraikan pula mengenai kesepakatan dasar
dalam perubahan, awal perubahan, jenis perubahan, dan hasil-hasil
perubahan. Uraian akan dikhiri dengan penjelasan tentang susunan dan
sistematika UUD 1945 setelah perubahan (MPR RI, 2006:6-8).
1. Dasar Pemikiran
Dasar pemikiran dilakukannya perubahan UUD 1945 antara lain
karena: pertama, UUD 1945 membentuk struktur kenegaraan yang
bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya
melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal itu berakibat tidak terjadinya saling
mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) pada lembagalembaga
kenegaraan. Penyerahan kekuasaan tertinggi kepada MPR
merupakan kunci yang menyebabkan kekuasaan pemerintahan negara
seakan-akan tidak memiliki hubungan dengan rakyat. Kedua, UUD 1945
memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan
80
eksekutif (Presiden). Sistem yang dianut UUD 1945 adalah dominan
eksekutif (executive heavy), yakni kekuasaan dominan di tangan Presiden.
Pada diri Presiden terpusat kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan
yang dilengkapi dengan berbagai hak konstitusional. Hak-hak
konstitusional tersebut lazim disebut hak prerogatif (antara lain memberi
grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi). Presiden juga memegang
kekuasaan legislatif karena memiliki kekuasaan membentuk undangundang.
Dua cabang kekuasaan negara yang seharusnya dipisahkan
dan dijalankan oleh lembaga negara yang berbeda, tetapi nyatanya
berada di satu tangan (Presiden).
Ketiga, UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” sehingga
dapat menimbulkan lebih dari satu tafsiran (multitafsir). Misalnya Pasal
7 UUD 1945 (sebelum diubah) yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih
kembali”. Rumusan pasal tersebut dapat ditafsirkan lebih dari satu.
Tafsir pertama bahwa presiden dan wakil presiden dapat dipilih berkalikali.
Tafsir yang kedua bahwa presiden dan wakil presiden itu hanya
boleh memangku jabatan maksimal dua kali dan sesudah itu tidak boleh
dipilih kembali. Contoh lain adalah Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 (sebelum
diubah) yang berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia asli”.
Rumusan pasal ini pun dapat mendatangkan tafsiran yang
beragam, antara lain, orang Indonesia asli adalah warga negara Indonesia
yang lahir di Indonesia atau warga negara Indonesia yang orang tuanya
adalah orang Indonesia.
Keempat, UUD 1945 terlalu banyak memberikan kewenangan
kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan
undang-undang. UUD 1945 menetapkan bahwa Presiden juga memegang
81
kekuasaan legislatif sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal penting
sesuai dengan kehendaknya dalam undang-undang.
Kelima, Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara
negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan
dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum,
pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia, dan otonomi
daerah. Hal itu membuka peluang bagi berkembangnya praktik
penyelenggaraan negara yang tidak sesuai dengan Pembukaan UUD 1945,
antara lain sebagai berikut:
a. Tidak adanya saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks
and balances) antarlembaga negara dan kekuasaan terpusat pada
Presiden
b. Infrastruktur politik yang dibentuk, antara lain partai politik
dan organisasi masyarakat, kurang mempunyai kebebasan
berekspresi sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
c. Pemilihan umum (pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi
persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses dan tahapan
pelaksanaannya dikuasi oleh pemerintah.
d. Kesejahteraan sosial berdasarkan pasal 33 UUD 1945 tidak
tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli, oligopoly,
dan monopsoni.
2. Tujuan Perubahan UUD 1945
Perubahan UUD 1945, mempunyai beberapa tujuan, yaitu sebagai berikut:
a. Menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara dalam
mencapai tujuan nasional dan memperkokoh Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
82
b. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan
kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai
dengan perkembangan paham demokrasi.
c. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan
hak asasi manusia agar sesuai dengan perkembangan paham hak asasi
manusia dan sesuai dengan cita-cita negara hukum yang dicita-citakan
UUD 1945.
d. Menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara
demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan
yang lebih tegas, sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi
(checks and balances) yang lebih kuat dan transparan, dan
pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk
mengakomodasi kebutuhan bangsa dan tantangan zaman.
e. Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan
kewajiban negara mewujudkan kesejahteraan sosial, mencerdaskan
kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral, dan solidaritas dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f. Melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam
penyelenggaraan negara bagi eksistensi (keberadaan) negara dan
demokrasi, seperti pengaturan wilayah negara dan pemilihan umum.
g. Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan
berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan, serta
kepentingan bangsa dan negara Indonesia.
3. Dasar Yuridis Formal Perubahan UUD 1945
Dalam melakukan perubahan UUD 1945, MPR berpedoman
pada ketentuan Pasal 37 UUD 1945 yang mengatur prosedur perubahan
UUD 1945. Naskah yang menjadi objek perubahan adalah UUD 1945 yang
ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali
83
dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara
aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat
sebagaimana tercantum dalam Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1959.
Sebelum melakukan perubahan UUD 1945, dalam sidang istimewa MPR
tahun 1998, MPR mencabut Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983
tentang Referendum yang mengharuskan terlebih dahulu
penyelenggaraan referendum secara nasional dengan persyaratan yang
demikian sulit sebelum dilakukan perubahan UUD 1945. Ketetapan
MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum ini tidak sesuai
dengan cara perubahan seperti diatur pada Pasal 37 UUD 1945. Maka
sebelum melakukan perubahan UUD 1945, MPR dalam Sidang Istimewa
MPR tahun 1998 mencabut Ketetapan MPR tentang referendum
tersebut.
4. Kesepakatan Dasar dalam Perubahan UUD 1945
Sebelum melakukan perubahan terhadap UUD 1945 MPR melalui
Panitia Ad Hoc I telah menyusun kesepakatan dasar sebagai berikut:
Pertama, Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945. Hal ini karena, 1)
Pembukaan UUD 1945 memuat dasar filosofis dan normatif yang
mendasari seluruh pasal dalam UUD 1945, dan 2) Pembukaan UUD 1945
mengandung staatidee berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), tujuan negara, dan dasar negara yang haus tetap dipertahankan.
Kedua, Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hal ini didasari bahwa negara kesatuan adalah bentuk yang
ditetapkan sejak awal berdirinya negara Indonesia, dan negara kesatuan
dipandang paling tepat untuk mewadahi ide persatuan sebuah bangsa
yang majemuk. Ketiga, Mempertegas sistem pemerintahan presidensial,
dengan maksud untuk memperkukuh sistem pemerintahan yang stabil
84
dan demokratis, dan karena sistem pemerintahan presidensial ini sejak
tahun 1945 telah dipilih oleh pendiri negara (founding fathers).
Keempat, Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan
dimasukkan ke dalam pasal-pasal (Batang Tubuh). Peniadaan
Penjelasan UUD 1945 dimaksudkan untuk menghindarkan kesulitan
dalam menentukan status “Penjelasan” dari sisi sumber hukum dan tata urutan
peraturan perundang- undangan. Selain itu, Penjelasan UUD 1945
bukan merupakan produk BPUPKI maupun PPKI, karena kedua lembaga
itu menyusun rancangan Pembukaan dan Batang Tubuh (pasal-pasal)
UUD 1945 tanpa Penjelasan. Dan kelima, melakukan perubahan dengan
cara addendum, artinya Perubahan UUD 1945 itu dilakukan dengan tetap
mempertahankan naskah aslinya. Dan Naskah perubahan-perubahan
UUD 1945 diletakkan melekat pada naskah asli.
5. Awal Perubahan UUD 1945
Tuntutan reformasi yang menghendaki agar UUD 1945
diamandemen, sebenarnya telah diawali dalam Sidang Istimewa MPR
tahun 1998. Pada forum permusyawaratan MPR yang pertama kalinya
diselenggarakan pada era reformasi, MPR telah menerbitkan tiga
ketetapan MPR. Ketetapan itu memang tidak secara langsung mengubah
UUD 1945, tetapi telah menyentuh muatan UUD 1945. Pertama, Ketetapan
MPR Nomor VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan MPR Nomor
IV/MPR/1983 tentang Referendum. Ketetapan MPR tenang Referendum
itu menetapkan bahwa sebelum dilakukan perubahan terhadap UUD
1945 harus dilakukan referendum nasional untuk meminta pendapat
rakyat yang disertai dengan persyaratan yang demikian sulit. Kedua,
Ketetapan MPR Nomor XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan
Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
85
- Ketentuan Pasal 1 dari Ketetapan itu berbunyi “Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia memegang jabatan selama masa lima
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang
sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
- Ketentuan MPR yang membatasi masa jabatan Presiden dan
Wakil Presiden itu secara substansial sesungguhnya telah mengubah
UUD 1945, yaitu mengubah ketentuan Pasal 7 yang berbunyi “Presiden dan
Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali”.
Ketiga, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi
Manusia. Terbitnya Ketetapan itu juga dapat dilihat sebagai
penyempurnaan ketentuan mengenai hak asasi manusia yang terdapat
dalam UUD 1945, seperti Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 Ayat (2). Berdasarkan
uraian tersebut, tampak bahwa ketiga Ketetapan MPR itu secara
substansial telah mengubah UUD 1945. Perubahan yang dilakukan
berkenaan dengan pencabutan ketentuan tentang referendum,
pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden, dan
penyempurnaan ketentuan mengenai HAM. Itulah sebabnya bahwa
ketentuan yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR itu dipandang sebagai
awal perubahan UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 dilakukan sesuai dengan peraturan dan
melalui beberapa tingkatan pembicaraan. Proses perubahan UUD 1945
mengikuti ketentuan Pasal 92 Peraturan Tata Tertib MPR mengenai
tingkat-tingkat pembicaraan dalam membahas dan mengambil putusan
terhadap materi siding MPR. Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana
tercantum dalam ketentuan pasal tersebut adalah sebagai berikut:
86
Tingkat I Pembahasan oleh Badan Pekerja Majelis terhadap
bahan-bahan yang masuk dan hasil dari pembahasan tersebut merupakan
rancangan putusan majelis sebagai bahan pokok Pembicaraan Tingkat II.
Tingkat II Pembahasan oleh Rapat Paripurna Majelis yang
didahului oleh penjelasan Pimpinan dan dilanjutkan dengan
Pemandangan Umum Fraksi-fraksi.
Tingkat III Pembahasan oleh Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis
terhadap semua hasil Pembicaran Tingkat I dan II. Hasil pembahasan
pada Tingkat III ini merupakan rancangan putusan Majelis.
Tingkat IV Pengambilan putusan oleh Rapat Paripurna Majelis
setelah mendengar laporan dari inginan Komisi/Panitia Ad Hoc Majelis
dan bilamana perlu dengan kata akhir dari fraksi-fraksi.
6. Jenis Perubahan UUD 1945
Perubahan UUD 1945 tidak dimaksudkan untuk mengganti UUD
1945. Oleh karena itu jenis perubahan yang dilakukan oleh MPR adalah
mengubah, membuat rumusan baru sama sekali, menghapus atau
menghilangkan, memindahkan tempat pasal atau ayat sekaligus
mengubah penomoran pasal atau ayat seperti terurai dalam beberapa
contoh berikut.
a. Mengubah rumusan yang telah ada
Pasal 2 (sebelum perubahan)
(1) Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah- daerah
dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan
undang-undang.
Pasal 2 (setelah perubahan)
87
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan
Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui
pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
b. Membuat rumusan baru sama sekali
Pasal 6A
(1) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat.
c. Menghapuskan/menghilangkan rumusan yang ada
Ketentuan Bab IV Dewan Pertimbangan Agung, dihapus.
d. Memindahkan rumusan pasal ke dalam rumusan ayat atau sebaliknya.
Pasal 34 (sebelum perubahan)
Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Pasal 34 (setelah perubahan)
(1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Pasal 23 (sebelum perubahan)
(1) Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 23B (sesudah perubahan)
Macam dan harga mata uang ditetapkan dengan undang-undang.
7. Hasil Perubahan UUD 1945
Setelah melalui tingkat-tingkat pembicaraan sesuai dengan
ketentuan Pasal 92 Peraturan Tata Tertib MPR, dalam beberapa kali
sidang MPR telah mengambil putusan empat kali perubahan UD 1945
dengan perincian sebagai berikut.
a. Perubahan Pertama UUD 1945 hasil Sidang Umum MPR tahun
1999 (tanggal 14 sampai dengan 21 Oktober 1999).
88
Tabel Perubahan Pertama UUD 1945
Perubahan UUD
1945
No Sebelum Perubahan Sesudah Perubahan
Perubahan Pertama:
Pasal-pasal yang
diubah sebanyak 9
pasal, yaitu pasal 5, 7,
9, 13, 14, 15,
17, 20, dan 21.
Beberapa perubahan
penting adalah pasal
5,
7, 14, dan 20.
1 Pasal 5 Ayat (1):
Presiden
memegang kekuasaan
membentuk undangundang
dengan
persetujuan DPR.
Presiden berhak
mengajukan rancangan
undang-undang
kepada DPR.
2. Pasal 7: Presiden dan
Wakil Presiden
memegang jabatannya
selama lima tahun dan
sesudahnya dapat
dipilih
kembali.
Presiden dan Wakil
Presiden memegang
jabatan selama lima
tahun, dan sesudahnya
dapat dipilih kembali
dalam jabatan yang
sama, hanya untuk satu
kali masa jabatan.
3. Pasal 14: Presiden
memberi grasi, amnesti,
abolisi, dan rehabilitasi.
(1) Presiden memberi grasi
dan rehabilitasi
dengan
memperhatikan
pertimbangan
Mahkamah Agung.
(2) Presiden memberi
amnesti dan abolisi
dengan
No Sebelum Perubahan Sesudah Perubahan
memperhatikan
pertimbangan DPR.
4. Pasal 20 Ayat (1): Tiaptiap
undang-undang
menghendaki
persetujuan
DPR.
DPR memegang
kekuasaan membentuk
undang-undang.
89
b. Perubahan Kedua UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun
2000 (tanggal 7 sampai dengan 18 Agustus 2000).
Tabel Perubahan Kedua UUD 1945
Perubahan UUD
1945
No Sebelum Perubahan Sesudah Perubahan
Perubahan Kedua:
Pasal-pasal yang
diubah sebanyak 10
pasal, yaitu pasal 18,
19, 20,
22, 25, 26, 27, 28, 30,
dan 36.
Beberapa perubahan
penting adalah pasal
26,
28.
1. Pasal 26 Ayat (2):
Syaratsyarat
yang mengenai
kewarganegaraan
ditetapkan dengan
undang-undang.
Penduduk ialah warga
negara Indonesia dan
orang asing yang
bertempat tinggal di
Indonesia.
2. Pasal 28: yang memuat
3
hak asasi manusia.
Diperluas menjadi
memuat 13 hak asasi
manusia.
c. Perubahan Ketiga UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun
2001 (tanggal 1 sampai dengan 9 Nopember 2001).
Tabel Perubahan Ketiga UUD 1945
Perubahan UUD
1945
No Sebelum Perubahan Sesudah Perubahan
Perubahan Ketiga:
Pasal-pasal yang
diubah sebanyak 10
pasal, yaitu pasal 1,
3, 6, 7, 8,
11, 17, 22, 23, dan 24.
1. Pasal 1 Ayat (2):
Kedaulatan ada di
tangan rakyat dan
dilakukan
sepenuhnya oleh MPR.
Kedaulatan berada di
tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut
UUD.
2. Pasal 6 Ayat (1):
Presiden
ialah orang Indonesia
asli.
Calon Presiden dan
Wakil
Presiden harus warga
negara Indonesia sejak
kelahirannya.
Ditambah Pasal 6A:
Presiden dan Wakil
Presiden harus warga
negara Indonesia sejak
kelahirannya.
3. Pasal 24 tentang
kekuasaan kehakiman.
Ditambah sebagai
berikut:
Pasal 24 B: Komisi
Yudisial bersifat
mandiri yang
berwenang
90
Beberapa perubahan
yang penting adalah
pasal 1 ayat (2), pasal
6 ayat (1), dan pasal
24.
No Sebelum Perubahan Sesudah Perubahan
mengusulkan
pengangkatan hakim
agung.
Pasal 24C: Mahkamah
Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir
yang
putusannya bersifat
final untuk menguji
undang- undang
terhadap UUD.
d. Perubahan Keempat UUD 1945 hasil Sidang Tahunan MPR tahun
2002 (tanggal 1 sampai dengan 11 Agustus 2002).
Tabel Perubahan Keempat UUD 1945
Perubahan UUD
1945
No Sebelum Perubahan Sesudah Perubahan
Perubahan Keempat.
Pasal-pasal yang
diubah berjumlah 13,
yaitu pasal 2, 3, 6, 8,
16, 23,
24, 31, 32, 34, 37,
Aturan Peralihan,
dan
Aturan Tambahan.
Beberapa perubahan
yang penting adalah
pasal 2 Ayat (1),
Bab IV Pasal 16, dan
Aturan Peralihan.
1. Pasal 2 Ayat (1): MPR
terdiri atas anggotaanggota
Dewan
Perwakilan Rakyat
ditambah dengan
utusanutusan
dari daerahdaerah
dan golongangolongan
menurut aturan yang
ditetapkan dengan
undang-undang.
MPR terdiri atas
Anggota
Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) dan
Anggota Dewan
Perwakilan Daerah
(DPD) yang dipilih
melalui pemilihan
umum dan diatur lebih
lanjut dengan undangundang.
2. Bab IV Pasal tentang
Dewan Pertimbangan
Agung.
DPA dihapus, diganti
menjadi: Presiden
membentuk suatu
dewan
pertimbangan yang
bertugas memberikan
nasihat dan
pertimbangan kepada
presiden, yang
selanjutnya diatur
dengan undangundang.
3. Aturan Peralihan Pasal
III: Mahkamah
Konstitusi dibentuk
selambatlambatnya
pada
tanggal
17 Agustus 2003 dan
sebelum dibentuk
segala
kewenangannya
dilakukan oleh
91
Setelah disahkannya Perubahan Keempat UUD 1945 pada
Sidang Tahunan MPR tahun 2002, agenda reformasi konstitusi Indonesia
untuk kurun waktu sekarang dipandang telah tuntas.
8. Susunan UUD 1945 setelah Perubahan
Sebagaimana diketahui, perubahan UUD 1945 dilakukan dengan
cara adendum. Setelah mengalami empat tahap perubahan dalam suatu
rangkaian kegiatan, UUD 1945 memiliki susunan sebagai berikut.
- Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
naskah asli;
- Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
- Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
- Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 194;
- Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Untuk memudahkan pemahaman secara urut, lengkap, dan
menyeluruh UUD 1945 juga disusun dalam satu naskah yang
berisikan Pasal-pasal dari Naskah Asli yang tidak berubah dan Pasalpasal
dari empat naskah hasil perubahan. Namun, susunan Undang-
Undang Dasar dalam satu naskah itu bukan merupakan naskah resmi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kedudukannya hanya sebagai risalah sidang dalam rapat paripurna
Sidang Tahunan MPR tahun 2002.
9. Sistematika UUD 1945
Ada yang perlu kita perhatikan dengan seksama, bahwa
walaupun UUD 1945 disusun dalam suatu naskah, hal itu sama sekali
92
tidak mengubah sistematika UUD 1945. Secara penomoran tetap terdiri
atas 16 bab dan 37 pasal dan perubahan bab dan pasal ditandai dengan
penambahan huruf (A, B, C, dan seterusnya) di belakang angka bab atau
pasal. Penomoran UUD 1945 yang tetap tersebut sebagai konsekuensi
logis dari pilihan melakukan perubahan UUD 1945 dengan cara
adendum (tetap mempertahankan naskah aslinya, perubahan
diletakkan melekat pada naskah asli).
Ditinjau dari aspek sistematika, UUD 1945 hasil perubahan
berbeda dengan UUD 1945 sebelum perubahan. UUD 1945 sebelum
diubah terdiri atas tiga bagian (termasuk penamaannya), yaitu:
- Pembukaan (Preambul);
- Batang Tubuh;
- Penjelasan.
- Setelah diubah, UUD 1945 terdiri atas dua bagian, yaitu:
- Pembukaan;
- Pasal-pasal (sebagai pengganti istilah Batang Tubuh).
Perubahan UUD 1945 yang dilakukan mencakup 21 bab, 73 pasal,
dan 170 ayat, 3 pasal Aturan Peralihan dan 2 pasal Aturan Tambahan.
Setelah diubah, UUD 1945 terdiri atas 21 bab, 73 pasal, dan 170 ayat, 3
pasal Aturan Peralihan serta 2 pasal Aturan Tambahan. Lihat tabel di
bawah ini.
Tabel UUD 1945 Sebelum dan Sesudah Perubahan
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945
No
Naskah UUD
1945 Bab Pasal Ayat
Aturan
Peralihan
Aturan
1 Sebelum Tambahan
Perubahan
16 37 49 4 pasal 2 ayat
2 Sesudah
Perubahan
21 73 170 3 pasal 2 pasal
93
MPR telah melakukan perubahan UUD 1945 sebagai pelaksanaan
salah satu tuntutan reformasi. Para perumus perubahan UUD 1945 di
MPR melakukan perubahan melalui pembahasan yang mendalam, teliti,
cermat, dan menyeluruh. Selain itu, para perumus perubahan UUD 1945
juga senantiasa mengajak dan mengikutsertakan berbagai kalangan
masyarakat dan penyelenggara negara untuk berpartisipasi aktif
memberikan masukan dan tanggapan. Maka boleh dikatakan bahwa
perubahan UUD 1945 itu telah dilakukan oleh bangsa dan negara
Indonesia
94
BAB VI
HAK ASASI MANUSIA
A. Konsep Dasar Hak Asasi Manusia
Dalam pengertian yang sederhana hak asasi manusia (human rights)
merupakan hak yang secara alamiah melekat pada orang semata-mata karena
ia merupakan manusia (human being). HAM meliputi nilai-nilai ideal yang
mendasar, yang tanpa nilai-nilai dasar itu orang tidak dapat hidup sesuai
dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Penghormatan terhadap
nilai-nilai dasar itu memungkinkan individu dan masyarakat bisa
berkembang secara penuh dan utuh. HAM tidak diberikan oleh negara
atau tidak pula lahir karena hukum. HAM berbeda dengan hak biasa yang
lahir karena hukum atau karena perjanjian. Dalam pembahasannya tentang
pengertian HAM, Jan Materson, anggota Komisi Hak Asasi Manusia PBB
merumuskan HAM dalam ungkapan berikut: “human rights could be generally
defines as those right which area inherent in our natural and without we can‟t live as
human being”. (HAM adalah hak-hak yang secara inheren melekat dalam diri
manusia, dan tanpa hak itu manusia tidak dapat hidup sebagai manusia)
(Asykuri Ibnu Chamim, 2000:371).
Dari pengertian di atas, kita dapat mencermati dua makna yang
terkandung dalam pengertian HAM, yaitu: Pertama, HAM merupakan
hak alamiah yang melekat dalam diri setiap manusia sejak ia dilahirkan
ke dunia. Hak alamiah adalah hak yang sesuai dengan kodrat manusia
sebagai insan merdeka yang berakal budi dan berperikemanusiaan.
Karena itu, tidak ada seorang pun yang diperkenankan merampas hak
tersebut dari tangan pemiliknya, dan tidak ada kekuasaan apapun yang
memiliki keabsahan untuk memperkosanya. Hal ini tidak berarti bahwa
HAM bersifat mutlak tanpa pembatasan, karena batas HAM seseorang adalah
95
HAM yang melekat pada orang lain. Bila HAM dicabut dari tangan
pemiliknya, manusia akan kehilangan eksistensinya sebagai manusia. Kedua,
HAM merupakan instrumen untuk menjaga harkat dan martabat manusia
sesuai dengan kodrat kemanusiaannya yang luhur. Tanpa HAM manusia
tidak akan dapat hidup sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaannya
sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia.
Dikatakan HAM menurut Ahmad Sanusi (2006:201) ialah karena hakhak
itu bersumber pada sifat hekekat manusia sendiri yang diberikan oleh
Tuhan Yang Maha Esa. HAM itu bukan karena diberikan oleh negara atau
pemerintah. Karena itu, hak-hak itu tidak boleh dirampas atau diasingkan
oleh negara dan oleh siapapun.
Dengan demikian, maka HAM bukan sekedar hak-hak dasar yang
dimiliki oleh setiap manusia sejak dilahirkannya ke dunia, tetapi juga
merupakan standar normatif yang bersifat universal bagi perlindungan
hak-hak dasar itu dalam lingkup pergaulan nasional, regional dan global.
Esensi itu dapat dilihat dalam Mukaddimah Universal Declaration of Human
Rights yang menyebutkan bahwa pengakuan atas martabat yang luhur dan
hak-hak yang sama tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga
manusia, karena merupakan dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian
dunia.
Dalam konteks Indonesia, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia merumuskan pengertian HAM sebagai berikut:
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang
sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan
berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan,
perkembangan manusia dan masyarakat, yang tidak boleh diabaikan,
dirampas, atau diganggu oleh siapa pun.
96
Dengan demikian, maka setiap manusia memiliki hak asasi
sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi tersebut tidak boleh
diabaikan, dirampas atau diganggu oleh siapa pun karena hak asasi tersebut
berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup manusia, kemerdekaan
manusia, perkembangan manusia dan masyarakat. Apabila ada perlakuan
yang mengabaikan, merampas atau mengganggu hak asasi seseorang, berarti
ia telah melakukan pelanggaran terhadap hak asasi seseorang.
Sedangkan berdasarkan rumusan Pasal 1 UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, HAM diartikan sebagai berikut: Seperangkat hak
yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakaan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Dari rumusan HAM di atas dapat dikemukakan bahwa di balik
adanya hak asasi yang perlu dihormati mengandung makna adanya
kewajiban asasi dari setiap orang. Kewajiban asasi yang dimaksud menurut
Sapriya dan Udin S. Winataputra (2003: 137) adalah kewajiban dasar
manusia yang ditekankan dalam undang- undang tersebut sebagai
seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak
memungkinkan terlaksana dan tegaknya HAM.
HAM mempunyai sejumlah karakteristik yang menonjol. James W.
Nickel (1996) mengidentifikasi sedikitnya enam karakteristik HAM, yaitu:
Pertama, HAM adalah hak. Makna istilah ini menunjukkan bahwa itu adalah
norma-norma yang pasti dan memiliki prioritas tinggi yang penegakannya
bersifat wajib. Kedua, hak-hak ini dianggap bersifat universal, yang dimiliki
oleh manusia semata-mata karena ia adalah manusia. Pandangan ini
menunjukkan secara tidak langsung bahwa karakteristik seperti ras, jenis
kelamin, agama, kedudukan sosial, dan kewarganegaraan tidak relevan
97
untuk mempersoalkan apakah seseorang memiliki atau tidak memiliki HAM.
Ini juga menyiratkan bahwa hak-hak tersebut dapat diterapkan di seluruh
dunia. Salah satu ciri khusus dari HAM yang berlaku sekarang adalah bahwa
itu merupakan hak internasional. Kepatuhan terhadap hak serupa itu telah
dipandang sebagai obyek perhatian dan aksi internasional yang sah.
Ketiga, HAM dianggap ada dengan sendirinya, dan tidak bergantung
pada pengakuan dan penerapannya di dalam sistem adat atau sistem hukum
di negara-negara tertentu. Hak ini boleh jadi memang belum merupakan hak
yang efektif sampai ia dijalankan menurut hukum, namun hak itu eksis
sebagai standar argumen dan kritik yang tidak bergantung pada penerapan
hukumnya.
Keempat, HAM dipandang sebagai norma-norma yang penting. Meski
tidak seluruhnya bersifat mutlak dan tanpa perkecualian, HAM cukup kuat
kedudukannya sebagai pertimbangan normatif untuk diberlakukan di dalam
benturan dengan norma-norma nasional yang bertentangan, dan untuk
membenarkan aksi internasional yang dilakukan demi HAM. Hak-hak yang
dijabarkan di dalam Deklarasi tersebut tidak disusun menurut prioritas;
bobot relatifnya tidak disebut. Tidak dinyatakan bahwa beberapa di
antaranya bersifat absolut. Dengan demikian HAM yang dipaparkan oleh
Deklarasi itu adalah sesuatu yang oleh para filsuf disebut sebagai prima facie
rights. ini, sebagaimana halnya hak-hak yang berkaitan dengannya, dianggap
tidak bergantung pada penerimaan, pengakuan, atau penerapan
terhadapnya. Pemerintah dan Kelima, hak-hak ini mengimplikasikan kewajiban
bagi individu maupun pemerintah. Adanya kewajiban orang-orang yang
berada di mana pun diwajibkan untuk tidak melanggar hak seseorang,
kendati pemerintah dari orang tersebut mungkin sekaligus memiliki
tanggung jawab utama untuk mengambil langkah-langkah positif guna
melindungi dan menegakkan hak-hak orang itu.
98
Dan terakhir, keenam, hak-hak ini menetapkan standar minimal bagi
praktek kemasyarakatan dan kenegaraan yang layak. Tidak seluruh masalah
yang lahir dari kekejaman atau pementingan diri sendiri dan kebodohan
merupakan problem HAM. Sebagai misal, suatu pemerintah yang gagal
untuk menyediakan taman-taman nasional bagi rakyatnya memang dapat
dikecam sebagai tidak cakap atau tidak cukup memperhatikan kesempatan
untuk rekreasi, namun hal tersebut tidak akan pernah menjadi persoalan
HAM.
B. Kategori Hak Asasi Manusia
Dalam tataran global, hak-hak asasi manusia paling tidak dapat
dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu HAM yang masuk dalam 1)
kategori hak-hak sipil dan politik; 2) kategori hak-hak ekonomi, sosial dan
budaya; serta 3) kategori hak-hak solidaritas (solidarity rights). Hak-hak sipil
dan politik sering pula disebut sebagai “first generation of rights”, hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya sebagai “second generation of rights”, sedangkan hakhak
solidaritas merupakan “the third generation of rights”.
Hak-hak sipil dan politik diatur dalam beberapa pasal UDHR
(Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak-Hak
Asasi Manusia, disingkat DUHAM) dan dalam ICCPR (International Covenant
on Civil and Political Rights, atau Kovenan Internasional mengenai Hak-hak
Sipil dan Politik). Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya diatur dalam
beberapa pasal DUHAM, dan diatur secara khusus dalam ICESCR
(International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights, atau Kovenan
Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Sedangkan
hak-hak solidaritas, utamanya hak atas pembangunan, tercantum dalam
Resolusi Majelis Umum PBB, tahun 1986, dan kemudian dalam Deklarasi
HAM Dunia di Wina, tahun 1993.
99
Kiranya sejak awal perlu dikemukakan bahwa penggolongan atau
kategorisasi seperti yang dikemukakan di atas tidaklah bermaksud untuk
mengkotak-kotakan HAM, apalagi mengkotak-kotak sesuai dengan urutan
prioritas. Kategori-kategori sebagaimana dikemukakan di atas, khususnya
antara hak-hak sipil di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya
di lain pihak sebenarnya merupakan akibat dari polarisasi politik dunia
ketika dua instrumen HAM (ICCPR dan ICSCR) dibuat oleh PBB. Kalau
kategori-kategori itu masih digunakan, tidak lain hanyalah untuk keperluan
praktis demi lebih mudah mengidentifikasi dan memahami hak-hak asasi
yang melekat pada manusia itu, bukan untuk memisah-misahkan satu
dengan yang lainnya, karena sebagaimana akan dikemukakan kemudian,
semua HAM itu tidak dapat dipisahkan dan saling bergantung.
Adanya kebutuhan untuk membuat kesepakatan-kesepakatan hukum
yang bersifat global yang mengatur dan menjamin penghormatan dan
penegakan HAM sebenarnya terutama lahir dari kesadaran historis akibat
Perang Dunia II. Tragedi kemanusiaan, terutama pengabaian terhadap
nilai-nilai HAM yang paling mendasar yang terjadi selama Perang Dunia
II, menghentakkan kesedaran bangsa- bangsa di dunia, bahwa persoalan
HAM tidak bisa diserahkan atau dianggap sebagai masalah internal suatu
negara semata. Demi tegaknya harkat dan martabat manusia dan
langgengnya perdamaiaan dunia, masalah HAM lalu “diangkat” menjadi
masalah yang harus dipikirkan bersama oleh segenap masyarakat bangsa,
baik dalam hal penghormatan dan pemenuhannya maupun dalam hal
penegakannya. Hal ini terefleksi dalam beberapa pasal Piagam PBB, yaitu
dalam pasal 1 ayat (3), pasal 55 dan pasal 56. Ketentuan-ketentuan ini
sekaligus memberikan mandat kepada PBB untuk membuat instrumeninstrumen
hukum HAM, mulai dari DUHAM, lalu disusul ICCPR dan
ICESCR, dan kemudian banyak lagi instrumen hukum lain di bidang HAM.
100
Hak-hak sipil terkait dengan “hak atas integritas/harkat fisik” (physical
integrity rights), seperti hak atas kehidupan dan perlindungan dari penyiksaan
dan hak atas “prosedur hukum yang adil” seperti hak atas peradilan yang jujur dan fair,
praduga tidak bersalah, dan hak untuk diwakili secara hukum). Hak-hak
ini diatur dalam pasal 1 sampai pasal 18 DUHAM, dan diatur lebih lanjut
dalam ICCPR). Hak-hak politik termasuk kebebasan berpendapat, berserikat
dan berkumpul, dan hak untuk memberikan suara dalam pemilu yang bebas
dan rahasia. Hak-hak ini diatur dalam Pasal 19 sampai pasal 21 DUHAM
dan pasal 18, 19, 21, 22 dan 25 ICCPR.
Apabila dicermati, ICCPR memuat ketentuan mengenai pembatasan
penggunaan kewenangan oleh aparat negara; sehingga hak-hak yang diatur
dan dijamin di dalamnya sering juga disebut sebagai hak-hak negatif. Artinya
bahwa untuk menjamin terlaksana dan dipenuinya hak-hak dan
kebebasan-kebebasan yang diatur di dalamnya, maka negara dituntut untuk
tidak melakukan intervensi apa pun, atau peran negara harus dibatasi sampai
ke tingkat minimal. Intervensi atau pembatasan oleh negara terhadap hakhak
yang diatur dalam ICCPR ini Berkaitan hanya dimungkinkan untuk
beberapa hak dan hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat. dengan hal
di atas maka dikenal pula pembedaan antara non- derogable rights (hak-hak
yang tidak bisa dikurangi pemenuhannya) dan derogable rights (hak-hak
yang bisa dikurangi pemenuhannya). Non-derogable rights adalah hak-hak
yang bersifat absolut yang tidak boleh dibaikan, dilanggar atau dikurangi
pemenuhannya walaupun dalam keadaan darurat sekali pun. Termasuk
dalam hak-hak ini adalah: hak atas hidup (rights to life); hak bebas dari
penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi (rights to be free from torture and
inhuman treatment); hak tahanan untuk diperlakukan secara manusiawi; hak
untuk bebas dari perbudakan dan kerja paksa (rights to be free from slavery);
hak atas pengakuan yang sama di hadapan hukum; hak atas kebebasan
101
berpikir, keyakinan dan agama; hak untuk bebas dari pemidanaan yang
berlaku surut. Bila negara melakukan pelanggaran terhadap hak-hak yang
termasuk dalam kategori non- derogable ini, negara itu bisa dituduh atau
dikecam telah melakukan pelanggaran serius HAM (gross violation of human
rights).
Derogable rights adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi
pemenuhannya oleh negara. Namun pembatasan atau pengurangan tsb
hanya dapat dilakukan apabila sebanding dengan ancaman atau situasi
darurat yang dihadapi dan tidak diterapkan secara diskriminatif. Alasanalasan
untuk pengurangan atau pembatasan tersebut, meliputi: 1) menjaga
kemananan atau ketertiban umum; 2) menjaga kesehatan atau moralitas
umum; dan 3) menjaga hak dan kebebasan orang lain. Hak-hak yang
termasuk dalam kategori ini terdiri atas: 1) hak atas kebebasan berkumpul; 2)
hak untuk berserikat; 3) kekebasan untuk berpendapat dan berekspresi; 4)
kebebasan berpindah dan memilih domisili; 5) kebebasan bagi warga negara
asing.
Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya terkait dengan kesejahteraan
material, sosial dan budaya, dan mula-mula diatur dalam pasal 16, 22
sampai pasal 29 DUHAM, dan lebih lanjut diatur dalam ICESCR. Hakhak
yang termasuk dalam kategori hak ekonomi, sosial dan budaya ini,
meliputi: hak untuk bekerja termasuk hak atas kondisi kerja yang aman dan
sehat, upah yang adil, bayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama, hak
atas pemilikan, hak untuk mendirikan dan bergabung dengan serikat pekerja,
termasuk hak untuk melakukan pemogokan, hak atas jaminan sosial, hak atas
standar hidup yang layak, hak atas pendidikan, pendidikan dasar wajib
dan bebas bagi semua, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan
budaya dan penikmatan keuntungan kemajuan ilmu pengetahuan. Hakhak
ini sering disebut sebagai “hak-hak positif”, karena tidak seperti dalam hak-hak
102
sipil dan politik, dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini, negara
harus berperan atau mengambil langkah-langkah positif untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak ini, seperti tersedianya perumahan, sandang, pangan,
lapangan kerja, pendidikan, dsb. Negara justru akan dianggap melakukan
pelanggaran terhadap hak-hak ini apabila tidak berperan secara aktif atau
menunjukkan peran minus.
Dalam beberapa tahun terkahir, hak-hak solidaritas (solidarity rights)
diakui keberadaannya, meliputi hak atas perdamaian, hak atas
lingkungan, dan hak atas pembangunan. Hak atas pembangunan,
khususnya, telah dicantumkan dalam Resolusi Majelis Umum PBB tahun
1986. Hak atas pembangunan bias didefinisikan sebagai “hak setiap orang dan
setiap bangsa untuk berpartisipasi, memberikan kontribusi dan memperoleh
manfaat dari pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan politik. Jadi,
subjek hak ini adalah individu dan bangsa.
C. Prinsip-Prinsip Pokok Hak Asasi Manusia
Ada beberapa prinsip pokok yang terkait dengan penghormatan,
pemenuhan, pemajuan dan perlindungan HAM. Prinsip-prinsip tersebut
adalah:
1. Prinsip universal, bahwa HAM itu berlaku bagi semua orang, apa
pun jenis kelaminnya, statusnya, agamanya, suku bangsa atau
kebangsaannya;
2. Prinsip tidak dapat dilepaskan (inalienable), siapa pun, dengan alas apa
pun, tidak dapat dan tidak boleh mencerabut atau mengambil hak asasi
seseorang. Seseorang tetap mempunyai hak asasinya kendati hukum di
negaranya tidak mengakui dan menghormati hak asasi orang itu, atau
bahkan melanggar hak asasi tersebut. Contohnya, ketika di suatu negara
dipraktekkan perbudakan, budak-budak tetap mempunyai hak-hak asasi,
kendati hak-haknya itu dilanggar.
103
3. Prinsip tidak dapat dipisahkan (indivisible), bahwa hak-hak sipil dan
politik, maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, serta hak
pembangungan, tidak dapat dipisah-pisahkan, baik dalam penerapan,
pemenuhan, pemantauan maupun penegakannya.
4. Prinsip saling tergantung (inter-dependent), bahwa disamping tidak dapat
dipisahkan, hak-hak asasi itu saling tergantung satu sama lainnya,
sehingga pemenuhan hak asasi yang satu akan mempengaruhi
pemenuhan hak asasi lainnya. Contohnya, kurang berjalannya hak-hak
sipil dan politik, bisa menjuruskan suatu negara ke pemerintahan yang
otoriter dan korup; pada gilirannya, pemerintahan yang otoriter dan
korup bisa menjerumuskan negara pada ketertinggalan di bidang
ekonomi, yang akhirnya bisa bermuara pada kemiskinan (tidak
terpenuhinya hak-hak ekonomi). Oleh karena itu, prinsip ini sekaligus
mengakhiri perdebatan mengenai prioritas pemenuhan dan pemajuan
HAM, dimana beberapa negara semula berpandangan bahwa suatu
kategori HAM tertentu harus mendapatkan prioritas terlebih dahulu
dibandingkan dengan kategori HAM lainnya.
5. Prinsip keseimbangan, bahwa (perlu) ada keseimbangan dan keselarasan
di antara HAM perorangan dan kolektif di satu pihak dengan tanggung
jawab perorangan terhadap individu yang lain, masyarakat dan bangsa di
pihak lainnya. Hal ini sesuai dengan kodrat manusia sebagai mahluk
individu dan mahluk sosial. Keseimbangan dan keselarasan antara
kebebasan dan tanggung jawab merupakan faktor penting dalam
penghormatan, pemajuan, pemenuhan dan perlindungan HAM;
6. Prinsip partikularisme, bahwa kekhususan nasional dan regional serta
berbagai latar belakang sejarah, budaya dan agama adalah sesuatu yang
penting dan harus terus menjadi pertimbangan. Namun, hal ini tidak serta
merta menjadi alasan untuk tidak memajukan dan melindungi HAM,
104
karena “adalah tugas semua negara, apa pun sistem politik, ekonomi dan budayanya,
untuk memajukan dan melindungi semua HAM.
D. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia
Terwujudnya Universal Declaration of Human Rights yang dinyatakan
pada tanggal 10 Desember 1948 ditempuh melalui proses yang cukup
panjang. Sebelum terwujudnya deklarasi tersebut, terdapat beberapa
dokumen yang memperjuangkan penegakan HAM di muka bumi, yaitu
sebagai berikut:
1. Piagam Madinah (shahifatul madinah) juga dikenal dengan
sebutan Konstitusi Madinah, ialah sebuah dokumen yang disusun
oleh Nabi Muhammad SAW, yang merupakan suatu perjanjian formal
antara dirinya dengan semua suku-suku dan kaum-kaum penting di
Yatsrib (kemudian bernama Madinah) di tahun 622. Dokumen tersebut
disusun sejelas-jelasnya dengan tujuan utama untuk menghentikan
pertentangan sengit antara Bani 'Aus dan Bani Khazraj di Madinah. Untuk
itu dokumen tersebut menetapkan sejumlah hak-hak dan kewajibankewajiban
bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas-komunitas
pagan Madinah; sehingga membuat mereka menjadi suatu kesatuan
komunitas, yang dalam bahasa Arab disebut ummah.
2. Piagam Magna Charta. Dideklarasikan di Inggris tahun 1215. Magna
Charta merupakan cikal bakal (embrio) HAM. Piagam ini membatasi
kekuasaan Raja John yang absolut. Dengan piagam ini, raja bisa dimintai
pertanggungjawabannya di muka hukum dan raja harus bertanggung
jawab kepada parlemen. Walaupun demikian, raja tetap berwenang
membuat Undang-Undang
3. Dokumen Bill of Rights. Perkembangan yang lebih konkret tentang HAM
terjadi setelah lahirnya piagam ini di Inggris pada tahun 1689. Piagam ini
ditandatangani Raja William III. Inti piagam ini menyatakan bahwa
105
“manusia sama di muka hukum” (equality before the law). Paham inilah yang
menjadi embrio Negara hukum, demokrasi, dan persamaan.
4. Declaration of Independence. Perkembangan HAM yang lebih modern
ditandai dengan lahirnya piagam ini, yakni deklarasi kemerdekaan
Amerika dari tangan Inggris tahun 1776. Piagam ini disusun oleh Thomas
Jefferson yang bersumber dari ajaran Montesquieu. Deklarasi ini
menekankan pentingnya kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan. Dr. Sun
Yat Sen menggunakan asas ini di Tiongkok, yang dikenal sebagai min tsu,
min chuan, dan min seng.
5. Declaration des Droits de I‟lhomme er du Citoyen. Piagam ini merupakan Piagam
Hak Asasi Manusia dan Warga Negara yang dideklarasikan di Prancis,
tahun 1789. Piagam ini banyak dipengaruhi oleh Declaration of
Independence karena jasa Lafayette, seorang jenderaldari Prancis yang
ikut berperang di Amerika pada waktu negeri tersebut membebaskan diri
dari penjajah Inggris. Sekembalinya ke Prancis, Lafayette berjuang untuk
melahirkan Piagam Hak Asasi Manusia dan Warga Negara di negerinya.
Piagam ini merupakan dasar dari rule of law yang melarang penangkapan
secara sewenang-wenang. Disamping itu, piagam ini pun menekankan
pentingnya asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), kebebasan
berekspresi (freedom of expression), dan kebebasan beragama (freedom of
religion), serta adanya perlindungan terhadap hak milik (the right of
property).
6. UUD 1945. Tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan, ditetapkanlah UUD yang dikenal
sebagai UUD 1945. Pada alinea pertama ditegaskan sebagai berikut:
“bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan,…”.
106
7. The Universal Declaration of Human Rights. Pada Perang Dunia II,
Presiden Amerika Serikat, Roosevelt, mendeklarasikan The Four
Freedom, antara lain bebas berpendapat dan berekspresi (freedom of
speech and expression) serta bebas dari ketakutan (freedom for fear).
Deklarasi Roosevelt inilah yang menjadi dasar lahirnya Piagam HAM
PBB, yakni The Universal Declaration of Human Rights. Piagam tersebut
dihasilkan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB pada sidangnya tanggal 10
Desember 1948. Deklarasi tersebut akhirnya diterima secara resmi dalam
Sidang Umum PBB.
Keberhasilan diterimanya Universal Declaration of Human Rights diikuti
oleh keberhasilan diterimanya suatu perjanjian (Convention) mengenai
Genocide (1948), tentang Kerja Paksa (1957), tentang Diskriminasi Gender
(1951 dan 1962), dan Diskriminasi berdasarkan ras (1965). Pada tahun 1966,
secara aklamasi diterima pula suatu perjanjian tentang hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya (Covenant on Economic, Social and Cultural Rights) dan
perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik (Covenant on Civil and Political
Rights).
Skema Sejarah Perkembangana HAM Sumber: Halili (2009)
107
E. Hak Asasi Manusia dan Gagasan Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945
UUD 1945 sebelum diubah dengan Perubahan Kedua pada tahun 2000,
hanya memuat sedikit ketentuan yang dapat dikaitkan dengan pengertian
HAM. Pasal- pasal yang biasa dinisbatkan dengan pengertian HAM itu
adalah
1. Pasal 27 Ayat (1) yang berbunyi, ‟Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya‟;
2. Pasal 27 Ayat (2) yang berbunyi, „Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan‟;
3. Pasal 28 yang berbunyi, „Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan
pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang‟;
4. Pasal 29 Ayat (2) yang berbunyi, „Negara menjamin kemerdekaan tiap- tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaannya itu‟;
5. Pasal 30 Ayat (1) yang berbunyi, „Tiap-tiap warga negara berhak dan
wajib ikut sertta dalam usaha pembelaan negara‟
6. Pasal 31 Ayat (1) yang berbunyi, „Tiap-tiap warga negara berhak
mendapat pengajaran‟;
7. Pasal 34 yang berbunyi, „Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar
diperlihara oleh negara‟.
Namun, menurut Asshiddiqie (2008) jika diperhatikan dengan
sungguh- sungguh, hanya 1 ketentuan saja yang memang benar-benar
memberikan jaminan konstitusional atas HAM, yaitu Pasal 29 Ayat (2) yang
menyatakan, „Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing- masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu‟. Sedangkan ketentuan-ketentuan yang lain, sama sekali
108
bukanlah rumusan tentang HAM, melainkan hanya ketentuan mengenai hak
warga negara atau the citizens‟ rights atau biasa juga disebut the citizens‟
constitutional rights. Apa bedanya? Hak konstitusional warga negara hanya
berlaku bagi orang yang berstatus sebagai warga negara, sedangkan bagi
orang asing tidak dijamin. Satu-satunya yang berlaku bagi tiap-tiap
penduduk, tanpa membedakan status kewarganegaraannya adalah Pasal 29
Ayat (2) tersebut. Selain itu, Asshiddiqie (2008) juga menjelaskan bahwa
ketentuan Pasal 28 dapat dikatakan memang terkait dengan ide HAM.
Akan tetapi, Pasal 28 UUD 1945 belum memberikan jaminan
konstitusional secara langsung dan tegas mengenai adanya „kemerdekaan berserikat
dan berkumpul, serta kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan‟ bagi
setiap orang, Pasal 28 hanya menentukan bahwa hal ikhwal mengenai
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dengan
lisan dan tulisan itu masih akan diatur lebih lanjut dan jaminan mengenai hal
itu masih akan ditetapkan dengan undang-undang.
Sementara itu, lima ketentuan lainnya, yaitu Pasal 27 Ayat (1) dan
(2), Pasal 30 Ayat (1), Pasal 31 Ayat (1), dan Pasal 34, semuanya berkenaan
dengan hak konstitusional warga negara Republik Indonesia, yang tidak
berlaku bagi warga negara asing. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa
yang sungguh- sungguh berkaitan dengan ketentuan HAM hanya satu saja,
yaitu Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945.
109
BAB VII
SISTEM PEMERINTAHAN DAN OTONOMI DAERAH
A. Karakteristik Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan pada hakekatnya adalah relasi kekuasaan antara
kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Menurut Asshiddiqie (2006:108)
apabila disederhanakan, sistem pemerintahan yang dikenal di dunia dewasa
ini dapat dirumuskan dalam empat model, yaitu model Inggris, Amerika Serikat,
Perancis, dan Swiss. Amerika Serikat menganut sistem presidensiil. Hampir
semua negara dibenua Amerika, kecuali beberapa seperti Kanada, meniru
Amerika Serikat dalam hal ini. Di benua Eropa dan kebanyakan negara Asia
pada umumnya menggunakan model Inggris, yaitu sistem parlementer.
Tetapi, Perancis memiliki model tersendiri yang bersifat campuran atau yang
biasa disebut dengan “hybrid system”. Pada umumnya negara-negara bekas
jajahan Perancis di Afrika menganut sistem campuran itu. Di satu segi ada
pembedaan antara Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, tetapi Kepala
Negaranya adalah Presiden yang dipilih dan bertanggungjawab kepada
rakyat secara langsung seperti dalam sistem presidensiil. Sedangkan Kepala
Pemerintahan di satu segi bertanggungjawab kepada Presiden, tetapi di segi
lain, ia diangkat karena kedudukannya sebagai pemenang pemilu yang
menduduki kursi parlemen, dan karena itu ia juga bertanggungjawab kepada
parlemen.
Selain ketiga model itu, yang agak khas adalah Swiss yang juga
mempunyai Presiden dan Wakil Presiden. Tetapi mereka itu dipilih dari dan
oleh tujuh orang anggota Dewan Federal untuk masa jabatan secara
bergantian setiap tahun. Sebenarnya ke-tujuh orang anggota Dewan Federal
itulah yang secara bersama-sama memimpin negara dan pemerintahan
Swiss. Karena itu, system pemerintahan Swiss ini biasa disebut sebagai “collegial
110
system” yang sangat berbeda dari tradisi presidentialisme atau parlementarisme di
mana-mana.
B. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial
Tentang sistem pemerintahan parlementer, Mahfud MD (2000:74)
menulis ada empat ciri parlementarisme. Pertama, kepala negara tidak
berkedudukan sebagai kepala pemerintahan karena lebih bersifat simbol
nasional (pemersatu bangsa). Kedua, pemerintahan diselenggarakan sebuah
kabinet yang dipimpin seorang perdana menteri. Ketiga, kabinet bertanggung
jawab kepada parlemen dan kabinet dapat dijatuhkan parlemen melalui mosi.
Keempat, kedudukan eksekutif (kabinet) lebih rendah daripada parlemen,
karena itu kabinet bergantung pada parlemen.
Sedangkan terkait dengan sistem presidensial dapat dikemukakan
bahwa ide utama sistem presidensial pada dasarnya adalah meletakan
presiden sebagai poros kekuasaan pemerintahan, tetapi penerapannya tetap
dalam kendali rakyat dalam kerangka demokrasi (Yuda AR, 2010:15). Basis
legitimasi presiden bersumber dari rakyat, bukan parlemen, seperti halnya
sistem parlementer. Karena itu, sistem pemerintahan presidensial ditandai
dengan penerapan sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara
langsung oleh rakyat dengan masa jabatan yang tetap (fixed term).
Implikasinya adalah presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga
parlemen, seperti halnya sistem parlementer, melainkan langsung
bertanggung jawab kepada rakyat. Disamping itu, presiden tidak
mudah dijatuhkan parlemen (legislative). Begitu pun halnya dengan institusi
parlemen, ia bersifat tetap dan tidak dapat dibubarkan oleh presiden. Kedua
lembaga itu (eksekutif dan legislatif) tidak dapat saling menjatuhkan.
Konsekuensinya, proses pemakzulan presiden dan wakil presiden dari
jabatannya hanya bias dilakukan melalui proses peradilan (proses hukum),
dan bukan proses politik.
111
Beberapa ahli merumuskan karakteristik sistem pemerintahan
presidensial sebagaimana diuraikan dalam tulisan Hanta Yuda AR (2010, 13-
16) sebagai berikut. Sartori mengemukakan tiga ciri utama sistem
pemerintahan presidensial, pertama, kepala pemerintahan (presiden)
dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu. Kedua,
dalam masa jabatannya presiden tidak dapat dijatuhkan parlemen, ketiga,
presiden memimpin secara langsung pemerintahan yang dibentuknya.
Sedangkan Verney mengajukan tiga karakteristik lain, pertama,
kekuasaan eksektutif bersifat tidak terbagi (sole executive) – jabatan kepala
negara (head of the state) sekaligus kepala pemerintahan (head of
government). Kedua, tidak ada peleburan antara eksekutif dan legislatif,
sehingga majelis tidak berubah menjadi parlemen dan presiden tidak dapat
membubarkan atau memaksa majelis. Ketiga, presiden (eksekutif)
bertanggung jawab kepada konstitusi dan secara langsung kepada pemilih
(rakyat).
Ball dan Petters juga merumuskan empat karakteristik
presidensialisme yang sejalan dengan alur logika di atas, pertama, posisi
presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Kedua,
presiden tidak dipilih parlemen, melainkan dipilih langsung oleh rakyat,
ketiga, presiden bukan bagian dari lembaga parlemen; presiden tidak dapat
diberhentikan parlemen, kecuali melalui mekanisme pemakzulan
(impeachment). Keempat, presiden tidak dapat membubarkan parlemen.
Heywood merumuskan beberapa karakteristik sistem presidensial,
yaitu pertama, Kepala negara dan kepala pemerintahan dijabat seorang
presiden. kedua, Kekuasaan eksekutif berada di tangan presiden sedangkan
cabinet yang terdiri atas menteri-menteri adalah pembantu presiden dan
bertanggung jawab kepada presiden. Dan ketiga, terdapat pemisahan personel
yang ada di parlemen dan di pemerintah.
112
C. Sistem Pemerintahan Di Indonesia
Perjalanan institusionalisasi sistem pemerintahan presidensial di
Indonesia dimulai sejak diberlakukannya UUD 1945 sebagai konstitusi
negara pada 18 Agustus 1945. Artinya, secara resmi sistem pemerintahan
presidensial dilembagakan melalui konstitusi. Tentang perjalanan sistem
pemerintahan di Indonesia ini, Hanta Yuda (2010:82) membaginya ke dalam
tiga periode, yaitu 1) Orde Lama: Percobaan Presidensialisme; 2) Orde Baru:
Presidensialisme tanpa checks and balances; dan 3) Periode Reformasi: Menuju
Purifikasi Presidensialisme.
Sistem presidensialisme pada awal kemerdekaan yang diterapkan oleh
Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta berlangsung cukup
singkat, tidak lebih dari 3 bulan. Sistem pemerintahan dalam masa transisi
dari pemerintahan kolonial itu sebetulnya belum mantap, karena
Indonesia masih dalam rangka mencari bentuk. Sistem pemerintahan
Indonesia saat itu dapat disebut sebagai sistem pemerintahan
semipresidensial atau cikal bakal menuju purifikasi sistem presidensial.
Secara rinci, hasil pemurnian (purifikasi) sistem presidensial pada masa
reformasi dapat dibaca pada tabel berikut.
Tabel Purifikasi Presidensialisme melalui Amandemen Konstitusi
No
Aspek
Konstitusi Sebelum 1 Masa Jabatan Amandemen Setelah Amandemen
Presiden
Presiden dapat dipilih lagi
setiap lima tahun (tidak
ada pembatasan jabatan).
Selain itu, jabatan presiden
tidak pasti, mudah
diberhentikan di masa
jabatannya.
Presiden dipilih dalam
lima
tahun dan hanya dapat
dipilih kembali selama satu
masa jabatan, jadi terbatas
selama dua kali lima tahun.
Jabatan presiden lebih
bersifat pasti (fixed term),
tidak mudah diberhentikan
113
2 Relasi presiden
dan parlemen
Lembaga eksekutif
(presiden)
lebih dominan daripada
parlemen dan fungsi checks
and balances sangat rendah
(executive heavy)
Kekuasaan eksekutif sudah
berbagai dengan parlemen
(DPR dan DPD). Adanya
kemandirian dan fungsi
checks and balances antara
presiden dan parlemen
3 Sistem
pemilihan
presiden
Sistem pemilihan tidak
langsung, dipilih oleh MPR
Sistem pemilihan
langsung,
dipilih oleh rakyat
4 Mekanisme
pencalonan
presiden
Presiden dan wakil
presiden
dicalonkan dan dipilih
tidak dalam satu paket.
Setelah
presiden terpilih, baru
diadakan pemilihan wakil
presiden oleh MPR
Presiden dan wakil
presiden
dicalonkan dan dipilih
5 Prosedur dalam satu paket
impeachment
Impeachment lebih bersifat
politis ketimbang alasan
hukum. Prosesnya relatif
lebih
mudah dengan mencapai
suara mayoritas untuk
menolak
pidato
pertanggungjawaban
Impeachment hanya dapat
dilakukan karena alasan
hukum. Hal ini diatur
secara
jelas dalam konstitusi.
Presiden bisa dimakzulkan
apabila terbukti telah
No
Aspek
Konstitusi Sebelum Amandemen Setelah Amandemen
presiden, maka presiden
dapat
dimakzulkan
melakukan pelanggaran
hukum berupa
pengkhianatan terhadap
negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana
berat lainnya, atau
perbuatan tercela maupun
apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai
presiden dan/atau wakil
presiden.
Selain itu persyaratannya
lebih sulit, karena
mensyaratkan pengambilan
keputusan di DPR,
Mahkamah Konstitusi, dan
MPR
Sumber: Hanta Yuda (2010:98-99)
D. Otonomi Daerah
1. Pengertian Otonomi Daerah
Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah
provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masingmasing
mempunyai pemerintahan daerah (Pasal 18 UUD 1945).
Pemerintahan daerah sendiri adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan
oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tujuan
114
penyelenggaraan otonomi seluas-luasnya adalah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
Dalam rumusan normatif undang-undang tentang pemerintahan
daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Siapakah pemerintahan daerah itu? Pemerintahan daerah adalah:
1) pemerintahan daerah provinsi yang terdiri atas pemerintah daerah provinsi
(kepala daerah dan perangkat daerah) dan DPRD provinsi; dan 2)
pemerintahan daerah kabupaten/kota yang terdiri atas pemerintah daerah
kabupaten/kota (kepala daerah dan perangkat daerah) dan DPRD
kabupaten/kota.
2. Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah
Dalam konteks negara kesatuan, hubungan kewenangan antara pusat
dan daerah di Indonesia mendasarkan diri pada tiga pola, yaitu desentralisasi,
dekonsentrasi dan medebewind (tugas pembantuan) (Noer Fauzi dan R.Yando
Zakaria, 2000:11). Pertama, Desentralisasi adalah penyerahan wewenang
pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka
Negara Kesatuan. Menurut Bagir Manan (2001:174), desentralisasi
mengandung segi positif dalam penyelenggaraan pemerintahan baik dari
sudut politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan, karena
dilihat dari fungsi pemerintahan, desentralisasi menunjukkan:
1. Satuan-satuan desentralisasi lebih fleksibel dalam memenuhi berbagai
perubahan yang terjadi dengan cepat;
2. Satuan-satuan desentralisasi dapat melaksanakan tugas lebih efektif dan
lebih efisien;
3. Satuan-satuan desentralisasi lebih inovatif;
115
4. Satuan-satuan desentralisasi mendorong tumbuhnya sikap moral yang
lebih tinggi, komitmen yang lebih tinggi dan lebih produktif.
Hal-hal yang diatur dan diurus oleh pemerintah daerah ialah tugastugas
atau urusan-urusan tertentu yang diserahkan oleh pemerintah pusat
kepada daerah- daerah untuk diselenggarakan sesuai dengan kebijaksanaan,
prakarsa dan kemampuannya daerah (Josep Riwu Kaho, 1991:14). Jadi
desentralisasi adalah penyerahan wewenang di bidang tertentu secara vertikal
dari institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi kepada
institusi/lembaga/pejabat bawahannya sehingga yang diserahi atau dilimpahi
wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan
tersebut (Noer Fauzi dan R.Yando Zakaria, 11).
3. Pembagian Urusan Pemerintahan
Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas
otonomi dan tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan
Pemerintah pusat meliputi: politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi;
moneter dan fiskal nasional; dan agama. Urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan
pilihan. Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah
provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
1. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
2. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
3. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
4. penyediaan sarana dan prasarana umum
5. penanganan bidang kesehatan;
6. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
7. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
8. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
116
9. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk
lintas kabupaten/kota;
10. pengendalian lingkungan hidup;
11. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota;
12. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
13. pelayanan administrasi umum pemerintahan;
14. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas
kabupaten/kota;
15. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan
oleh kabupaten/kota ; dan
16. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundangundangan.
Sedangkan urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan
meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan
potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
117
BAB VIII
WAWASAN NUSANTARA
A. Konsep Geopolitik
1. Pengertian Geopolitik
Istilah geopolitik berasal dari dua pengertian, yaitu geo yang berarti
bumi, dan politik, yang berarti kekuatan yang didasarkan pada pertimbanganpertimbangan
dasar dalam menentukan alternatif kebijaksanaan nasional
untuk mewujudkan tujuan nasional. Dengan demikian, geopolitik dapat
diartikan sebagai sebuah kebijakan politik suatu negara yang memanfaatkan
geografi sebagai basis penguasaan ruang hidup demi terjaminnya
kelangsungan hidup dan pengembangan kehidupan negara yang
bersangkutan.
Mengapa geografi? Geografi adalah ruang hidup, ruang hidup adalah
sumber daya, sumber daya adalah energi dan ekonomi, energi dan ekonomi
adalah kekuasaan (power). Oleh karena itu, geografi, teritori dan ruang hidup
dengan segala isinya harus dikuasai bila perlu dengan menggunakan
senjata. Dengan demikian, geopolitik merupakan pengembangan dari
geografi politik (dalam arti pendistribusian kekuasaan, kewenangan dan
tanggung jawab) dengan berdasarkan pada konstelasi geografi untuk
menyelenggarakan kepentingan nasional.
Konsep geopolitik tumbuh karena adanya kesadaran akan kebutuhan
ruang hidup manusia, masyarakat dan bangsa. Kesadaran ini terkait
secara tidak langsung dari kebutuhan keamanan bagi diri manusia, lebihlebih
bagi manusia yang telah membangsa. Setelah bangsa menegara,
kesadaran ruang menjadi kesadaran kedaulatan, sehingga membuat batasbatas
negara (boundary), dengan melalui seperangkat hukum dan aparat
penjamin tegaknya tertib hukum dan kedaulatan.
118
Tujuan penentuan garis batas selain untuk integrasi bangsa, juga untuk
memperjelas batas pembinaan sumber daya alam untuk keperluan keamanan
maupun kesejahteraan. Namun pada bangsa-bangsa yang bersifat heterogen
dapat menjadi disintegrasi apabila pemerintah tidak cukup
memperhatikan daerah- daerah terpencil yang berada di perbatasan
serta sarana transportasi dan komunikasi yang cukup.
119
2. Sejarah Lahirnya Konsep Geopolitik di Dunia
Secara historis, sebelum abad XIX, pandangan geopolitik terhadap
dunia hanya berkisar pada lingkungan negara dan negara tetangga di
sekitarnya. Para ahli belum memahami geografi bumi secara menyeluruh.
Hal ini terjadi karena pengetahuan manusia tentang bumi belum lengkap, alat
transportasi dan komunikasi yang sangat minim terutama kemampuan
jelajahnya.
Berbagai teori Geopolitik lainnya seperti Sir Walter Raleigh (1553-1613),
mantan Perdana Menteri Inggris, mengemukakan supremasi di lautan
sebagai dasar dari kekuasaan. Inti konsepnya adalah penguasaan lautan,
yaitu dengan membangun angkatan laut yang kuat dan modern untuk dapat
menjelajahi dan menguasai seluruh laut yang pada akhirnya dapat
menguasai dunia. Selanjutnya, Alfred Thayer Mahan (1860-1914), Laksamana
Laut dan guru besar dalam sejarah maritim dan strategi pada Naval War
College di Amerika Serikat, dalam teorinya menjelaskan bagi bangsa yang
memiliki pantai, maka laut merupakan perbatasan dan kekuasaan
nasionalnya yang ditentukan oleh kemampuannya untuk memperluas
perbatasan tersebut. Bahwa penduduk suatu negara yang suka
berdagang/berniaga akan mudah berkembang dan memerlukan daerahdaerah
jajahan sebagai tempat mengambil bahan-bahan baku, daerah pasaran
tempat menjual hasil produksinya dan daerah tempat mengembangkan
perkapalan nasional (Ermaya Suradinata, 2001).
B. Wawasan Nusantara sebagai Wawasan Nasional Indonesia
Sebagai bangsa yang majemuk, bangsa Indonesia harus selalu
membina dan membangun kehidupan nasionalnya baik pada aspek politik,
ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan dan keamanannya serta selalu
mengatasnamakan persatuan dan kesatuan bangsa dan kesatuan wilayahnya.
Untuk itu penyelenggaraan dan pembinaan tata kehidupan bangsa dan
120
negara Indonesia disusun atas dasar hubungan timbal balik antara falsafah,
cita-cita dan tujuan nasional, serta kondisi sosial budaya dan pengalaman
sejarah yang menumbuhkan kesadaran akan kemajemukan dan
kebhinnekaan dengan tetp menpertahankan persatuan dan kesatuan nasional.
Gagasan untuk menjamin kesatuan dan persatuan Indonesia tercermin
dalam suatu konsep yang dikenal dengan istilah wawasan kebangsaan atau
wawasan nasional Indonesia atau wawasan nusantara Indonesia. Dengan
demikian wawasan nusantara sebagai landasan geopolitik Indonesia
adalah cara pandang dan sikap bangsa Indonesia untuk mengenali diri dan
lingkungannya yang serba beragam dan bernilai strategis dengan
mengutamakan persatuan dan kesatuan wilayah dan tetap menghargai
serta menghormati kebhinnekaan dalam setiap aspek kehidupan nasional
untuk mencapai tujuan nasional.
C. Landasan Wawasan Nusantara
Pertama, Pancasila sebagai landasan idiil wawasan nusantara. Pancasila
diakui sebagai ideologi dan dasar negara yang dirumuskan dalam
pembukaan UUD 1945. Pancasila mencerminkan nilai, keseimbangan,
keserasian, perstuan dan kesatuan, kekeluargaan, kebersmaan dan kearifan
dalam membina kehidupan nasional. Pancasila sebagai falsafah, ideologi
bangsa dan dasar negara mempunyai kekutan hukum yang mengikat para
penyelenggara negara, pemimpin pemerintahan dan seluruh rakyat
Indonesia.
Wawasan Nusantara pada hakikatnya merupakan pancaran dari
falsafah Pancasila yang diterapkan dalam kondisi nyat Indonesia. Dengan
demikian, Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia telah dijadikan
landasan Idiil dan dasar negara sesuai dengan pembukaan UUD 1945.
Pencerminan Pancasila tentang konsep Wawasan Nusantara tercermin dalam
Sila ke-3 Pancasila yang berbunyi Persatuan Indonesia. Sila ini mengandung
121
pengertian bangsa Indonesia lebih mengutamakan kepentingan bangsa dan
negara. Kepentingan masyarakat lebih luas dan harus diutamakan daripada
kepentingan yang lebih besar dan tidak mematikan atau meniadakan
kepentingan golongan, suku bangsa maupun perorangan. Sikap tersebut
mewarnai adanya wawasan kebangsaan atau wawasan nusantara.
Kedua, UUD 1945 sebagai landasan konsepsional wawasan nusantara.
UUD 1945 merupakan konstitusi dasar yang menjadi pedoman pokok dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bangsa Indonesia
menyadari bahwa bumi, air dan dirgantara diatasnya serta kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan seluruh potensi yang ada
tersebut dipergunakan secara terpadu, seimbang, serasi dan selaras dan adil.
122
BAB IX
KETAHANAN NASIONAL
A. Geostrategi dan Geostrategi Indonesia
Setiap bangsa dan negara membutuhkan strategi dalam memanfaatkan
wilayah negara sebagai ruang hidup nasional untuk menentukan
kebijakan,sarana dan sasaran perwujudan kepentingan dan tujuan nasional
melalui pembangunan sehingga bangsa itu tetap eksis dalam arti
ideologis, politis, ekonomis, sosial budaya dan Hankam. Karena itu,
diperlukan geostrategi dalam pengelolaan suatu negara. Geostartegi
merupakan strategi dalam memanfaatkan konstelasi geografi negara untuk
menentukan kebijakan, tujuan, sarana-sarana untuk mencapai tujuan
nasional. Geostrategi dapat pula dikatakan sebagai pemanfaatan
kondisi lingkungan dalam upaya mewujudkan tujuan politik.
Dari pengertian tersebut, kita dapat memaknai geostrategi
Indonesia sebagai strategi nasional bangsa Indonesia dalam memanfaatkan
wilayah negara republik Indonesia sebagai ruang hidup nasional guna
merancang arahan tentang kebijakan, sarana dan sasaran pembangunan
untuk mencapai kepentingan dan tujuan nasional sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan
social.
Dengan demikian, geostrategi Indonesia memberi arahan
tentang bagaimana merancang strategi pembangunan guna mewujudkan
masa depan yang lebih baik, aman dan sejahtera. Geostrataegi Indonesia
dirumuskan dalam wujud Konsepsi “Ketahanan Nasional”.
123
Dilihat dari perkembangannya, konsep geostrategi Indonesia
dikembangkan pertama kali oleh Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat
(Seskoad) di Bandung tahun 1962. Isi konsep geostrategi Indonesia yang
terumus adalah pentingnya pengkajian terhadap perkembangan lingkungan
strategis di kawasan Indonesia yang ditandai dengan meluasnya pengaruh
komunis. Geostrategi Indonesia pada waktu itu dimaknai sebagai strategi
untuk mengembangkan dan membangun kemampuan teritorial dan
kemampuan gerilya untuk menghadapi ancaman komunis di Indocina.
Pada tahun 1965-an Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas)
mengembangkan konsep geostrategi Indonesia yang lebih maju dengan
rumusan sebagai berikut: bahwa geostrategi Indonesia harus berupa sebuah
konsep strategi untuk mengembangkan keuletan dan daya tahan,
pengembangan kekuatan nasional untuk menghadapi dan menangkal
ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik bersifat internal maupun
eksternal. Sejak tahun 1972, Lemhannas terus melakukan pengkajian
tentang geostrategi Indonesia yang lebih sesuai dengan konstelasi
Indonesia. Pada era itu konsepsi geostrategi Indonesia dibatasi sebagai
metode untuk mengembangkan potensi ketahanan nasional dengan
pendekatan keamanan dan kesejahteraan guna menjaga identitas
kelangsungan serta integritas nasional sehingga tujuan nasional dapat
tercapai. Dan terhitung mulai tahun 1974, geostrategi Indonesia ditegaskan
wujudnya dalam bentuk rumusan ketahanan nasional sebagai kondisi, metode,
dan doktrin dalam pembangunan nasional.
Pengembangan konsep geostrategi Indonesia memiliki dua tujuan
utama. Pertama, menyusun dan mengembangkan potensi kekuatan nasional
baik yang berbasis pada aspek ideologi, politik, sosial budaya dan hankam
mupun aspek- aspek alamiah, bagi upaya kelestarian dan eksistensi hidup
negara dan bangsa untuk mewujudkan cita-cita Proklamsi dan tujuan
124
nasional. Kedua, menunjang tugas pokok pemerintahan Indonesia dalam: a)
menegakkan hukum dan ketertiban (law and order); b) terwujudnya
kesejahteraan dan kemakmuran (welfare and prosperity); c) terselenggaranya
pertahanan dan keamanan (defense and prosperity); d) terwujudnya keadilan
hukum dan keadilan sosial (yuridical justice and social justice); dan e)
tersedianya kesempatan rakyat untuk mengaktualisasikan diri (freedom of the
people).
Geostrategi Indonesia ini memiliki dua sifat pokok. Pertama, bersifat
daya tangkal, yaitu ditujukan untuk menangkal segala bentuk ancaman,
gangguan, hambatan dan tantangan terhadap identitas, integritas,
eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Kedua, bersifat pengembangan
(developmental), yaitu pengembangan potensi kekuatan bangsa dalam
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, hankam sehingga tercapai
kesejaheraan rakyat.
B. Model-Model Ketahanan Nasional
Konsepsi dasar ketahanan nasional paling tidak dapat dipahami dari
beberapa model ketahanan nasional, masing-masing model Astagatra, Model
Morgentahu, Model Alfred Thayer Mahan, dan Model Cline.
Pertama, Model Morgenthau, model ini bersifat deskriptif kualitatif
dengan jumlah gatra yang cukup banyak. Bila model Lemhannas berevolosi
dari observasi empiris perjalanan perjuangan bangsa, maka model ini
diturunkan secara analitis. Dalam analisisnya, Morgenthau menekankan
pentingnya kekuatan nasional dibina dalam kaitannya dengan negara-negara
lain. Artinya, ia menganggap pentingnya perjuangan untuk mendapatkan
power position dalam satu kawasan. Sebagai konsekuensinya maka terdapat
advokasi untuk memperoleh power position sehingga muncul strategi ke arah
balanced power.
125
Kedua, Model Alfred Thayer Mahan. Dalam bukunya The Influence
Seapower on History, Alfred Thayer Mahan mengatakan bahwa kekuatan
nasional suatu bangsa dapat dipenuhi apabila bangsa tersebut memenuhi
unsur-unsur letak geografi, bentuk atau wujud bumi, luas wilayah, jumlah
penduduk, watak nasional atau bangsa, dan sifat pemerintahan.
Ketiga, Model Cline yang melihat suatu negara dari luar
sebagaimana dipersepsikan oleh negara lain. Baginya hubungan antar negara
pada hakikatnya amat dipengaruhi oleh persepsi suatu negara terhadap
negara lainnya termasuk di dalamnya persepsi atau sistem penangkalan dari
negara lainnya. Menurut Cline suatu negara akan muncul sebagai kekuatan
besar apabila ia memiliki potensi geografi besar atau negara secara fisik
memiliki wilayah yang besar dan sumber daya manusia yang besar pula.
Model ini mengatakan bahwa suatu negara kecil bagaimanapun majunya
tidak akan dapat memproyeksikan diri sebagai negara besar. Sebaliknya
suatu negara dengan wilayah yang besar akan tetapi jumlah penduduknya
kecil juga tidak akan menjadi negara besar walaupun berteknologi maju.
C. Ketahanan Nasional Sebagai Perwujudan Geostrategi Indonesia
Sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, geostragei
Indonesia dirumuskan dalam konsep ketahanan nasional. Lemhannas
mendefinisikan ketahanan nasional sebagai kondisi dinamik suatu bangsa,
berisi keuletan dan ketangguhan, yang mengandung kemampuan
mengembangkan kekuatan nasional, di dalam menghadapi dan mengatasi
segala tantangan, ancaman, hambatan, serta gangguan baik yang datang dari
luar maupun dari dalam yang langsung maupun tidak langsung
membahayakan integritas, identitas, dan kelangsungan hidup bangsa dan
negara serta perjuangan mengejar tujuan perjuangan nasionalnya
(Lemhannas, 1999:64). Dari definisi di atas, terdapat beberapa istilah
yang perlu dijelaskan (Lemhannas, 1994:61).
126
1. Ketangguhan ialah kekuatan yang membuat seseorang atau sesuatu
dapat bertahan kuat menderita atau kuat menanggung beban.
2. Keuletan ialah usaha terus secara giat dengan kemauan yang keras
di dalam menggunakan segala kemampuan dan kecakapan untuk
mencapai tujuan atau cita-cita.
3. Identitas ialah ciri khas suatu negara dilihat secara keseluruhan
(holistik), yaitu negara yang dibatasi oleh wilayah negara, penduduk,
sejarah, pemerintah dan tujuan nasionalnya serta peranan yang
dimainkannya di dalam dunia internasional.
4. Integritas ialah kesatuan yang menyeluruh di dalam kehidupan
nasional suatu bangsa, baik sosial, alamiah, potensi maupun fungsional
5. Ancaman merupakan hal atau usaha yang bersifat mengubah
atau merombak kebijaksanaan dan dilakukan secara konsepsional,
kriminal serta politik.
6. Tantangan merupakan hal atau usaha yang bertujuan atau bersifat
menggugah kemampuan.
7. Hambatan merupakan hal atau usaha yang berasal dari diri sendiri
yang bersifat atau bertujuan melemahkan atau menghalangi secara tidak
konsepsional.
8. Gangguan merupakan hal atau usaha yang berasal dari luar yang
bersifat atau bertujuan melemahkan atau menghalang-halangi secara tidak
konsepsional.
Ketahanan nasional adalah kemampuan dan ketangguhan suatu
bangsa untuk dapat menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan
bangsa dan negara. Karena itu, ketahanan nasional ini tergantung pada
kemampuan bangsa dan seluruh warga negara dalam membina aspek
alamiah serta aspek sosial, sebagai landasan penyelenggaraan
kehidupan nasional di segala bidang. Ketahanan nasional mengandung
127
makna keutuhan semua potensi yang terdapat dalam wilayah nasional, baik
fisik maupun sosial serta memiliki hubungan erat antara gatra di dalamnya
secara komprehensif integral. Kelemahan salah satu bidang akan
mengakibatkan kelemahan bidang yang lain yang dapat mempengaruhi
kondisi keseluruhan.
Skema Definisi Ketahanan Nasional
Seperti dijelaskan pada bagian sebelumnya, perkembangan konsepsi
pengertian ketahanan nasional telah mengalami rentang yang panjang.
Gagasan tentang ketahanan nasional bermula pada awal 1960-an pada
kalangan militer angkatan darat di SSKAD yang sekarang bernama Seskoad
(Sunardi, 1997). Gagasan ketahanan nasional saat itu dipakai dalam rangka
pembahasan masalah pembinaan teritorial atau masalah pertahanan
keamanan pada umumnya.
Pada tahun 1968, gagasan tentang ketahanan nasional di lingkungan
SSKAD itu dilanjutkan oleh Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhannas).
Pada tahun 1968 tersebut, dirumuskan pengertian ketahanan nasional sebagai
keuletan dan daya tahan kita dalam menghadapi segala kekuatan baik yang
datang dari luar maupun dari dalam yang langsung maupun tidak langsung
128
membahayakan kelangsungan hidup negara dan bangsa indonesia
(Lemhannas, 1999:89).
Pada tahun 1969, Lemhannas merumuskan pengertian kedua tentang
ketahanan nasional yang disebut dalam ketahanan nasional konsepsi tahun
1969 sebagai penyempurnaan dari konsepsi pertama, yaitu: keuletan dan
daya tahan suatu bangsa yang mengandung kemampuan untuk
memperkembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala ancaman
baik yang datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung atau tidak
langsung membahayakan kelangsungan hidup negara dan bangsa Indonesia
(Lemhannas, 1999:89).
Perkembangan selanjutnya, dalam SK Menhankam/Pangab No.
SKEP/1382/XII/1974, ketahanan nasional diartikan sebagai kondisi dinamis
suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung
kemampuan mengembangkan kekuatan nasional di dalam menghadapi dan
mengatasi segala ancaman, tantangan, hambatan, serta gangguan, baik yang
datang dari dalam maupun dari luar yang langsung maupun tidak
langsung, membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa
dan negara serta perjuangn nasional. Dan terakhir, dalam GBHN mulai
GBHN tahun 1978 sampai GBHN 1998. Dalam GBHN 1998, ketahanan
nasional dipahami sebagai kondisi dinamis yang merupakan integrasi dari
kondisi tiap aspek kehidupan bangsa dan negara. Pada hakikatnya ketahanan
nasional adalah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk
menjamin kelangsungan hidupnya menuju kejayaan bangsa dan negara.
Berhasilnya pembangunan nasional akan meningkatkan ketahanan
nasional. Selanjutnya, ketahanan nasional yang tangguh akan mendorong
pembangunan nasional. Masih dalam rumusan GBHN 1998, ketahanan
nasional meliputi ketahanan ideologi, ketahanan politik, ketahanan
ekonomi, ketahanan sosial budaya, dan ketahanan pertahanan keamanan.
129
1. Ketahanan ideologi adalah kondisi mental bangsa Indonesia yang
berlandaskan keyakinan akan kebenaran ideologi Pancasila yang
mengandung kemampuan untuk menggalang dan memelihara
persatuan dan kesatuan nasional dan kemampuan menangkal penetrasi
ideologi asing serta nilai-nilai yang tidak sesuai dengan kepribadian
bangsa.
2. Ketahanan politik adalah kondisi kehidupan politik bangsa Indonesia
yang berlandaskan demokrasi politik berdasarkan Pancasila dan UUD
1945 yang mengandung kemampuan memelihara sistem politik yang
sehat dan dinamis serta kemampuan menerapkan politik luar negeri yang
bebas dan aktif.
3. Ketahanan ekonomi adalah kondisi kehidupan perekonomian bangsa
yang berlandaskan demokrasi ekonomi yang berdasarkan Pancasila yang
mengandung kemampuan memelihara stabilitas ekonomi yang sehat dan
dinamis serta kemampuan menciptakan kemandirian ekonomi nasional
dengan daya saing yang tinggi dan mewujudkan kemakmuran rakyat
yang adil dan merata.
4. Ketahanan sosial budaya adalah kondisi kehidupan sosial budaya
bangsa yang dijiwai kepribadian nasional berdasarkan Pancasila yang
mengandung kemampuan membentuk dan mengembangkan kehidupan
sosial budaya manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan
bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, rukun, bersatu, cinta tanah air,
berkualitas, maju dan sejahtera dalam kehidupan yang serba selaras,
serasi seimbang, serta kemampuan menangkal penetrasi budaya asing
yang tidak sesuai dengan kebudayaan nasional.
5. Ketahanan pertahanan keamanan adalah kondisi daya tangkal bangsa
yang dilandasi kesadaran bela negara seluruh rakyat yang mengandung
kemampuan memelihara stabilitas pertahanan keamanan negara yang
130
dinamis, mengamankan pembangunan dan hasil-hasilnya serta
kemampuan mempertahankan kedaulatan negara dan menangkal
segala bentuk ancaman.
Ketahanan nasional diwujudkan dengan mengelola dan
menyelenggarakan kesejahteraan dan keamanan terhadap sistem
kehidupan nasional. Sebagai konsepsi pengaturan dan penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara, metode pendekatan dan pengkajian
ketahanan nasional diarahkan pada dua pendekatan, yaitu pendekatan
keamanan dan pendekatan kesejahteraaan. Sifat- sifat ketahanan nasional adalah:
manunggal, mawas ke dalam, kewibawaan, berubah menurut waktu, tidak
membenarkan sikap adu kekuasaan dan adu kekuatan, percaya pada diri
sendiri, dan tidak tergantung pada pihak lain.
131
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, J. 1996. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam
Sejarah. Jakarta: UI Press.
Asshiddiqie, J. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. 2005. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai
Negara. Jakarta: Konstitusi Press.
Asshiddiqie, J. 2006. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi.
Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Asshiddiqie, J. 2008. Konstitusi dan Hak Asasi Manusia. Makalah disampaikan
pada Lecture Peringatan 10 Tahun KontraS. Jakarta, 26 Maret 2008.
Budiardjo, M. 1998. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Busroh, A.D dan Busroh, A.B. 1991. Azas-azas Hukum Tata Negara, Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Chaidir, E. 2007. Hukum dan Teori Konstitusi. Yogyakarta: Kreasi Total Media
Fauzi, N dan Zakaria, R Y. 2000. Mensiasati Otonomi Daerah. Yogyakarta:
Konsorsium Pembaruan Agraria bekerjasama dengan INSIST Press.
Halili. 2009. Hak Asasi Manusia, Bahan Tayangan Perkuliahan Pendidikan
Hak
Asasi Manusia, Universitas Negeri Yogyakarta.
Ibn Chamim, A (Ed). 2003. Pendidikan Kewargaengaraan Menuju Kehidupan yang
Demokratis dan Berkeadaban. Yogyakarta: Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian
dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
ICCE UIN. (2005). Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani.
Jakarta: Kerjasama ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Prenada
Media.
Kaelan. 2007. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Paradigma.
Kaho, J R. 1991. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia.
132
Jakarta: Rajawali Pers.
Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
Kusnardi, M dan Ibrahim, H. 1988. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia.
Jakarta: Pusat Studi HTN Fakultas Hukum UI
Mahfud MD, M. 2000. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Rineka
Cipta Manan, B. 2001. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta: PSH
FH- UII.
Mas‟oed, M. 2007. Nasionalisme dan Tantangan Global Masa Kini. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
MPR RI. 2006, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945 Sesuai dengan urutan Bab, Pasal, dan Ayat. Jakarta,
Sekretariat Jenderal MPR.
Nickel, J W. 1996. Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis atas Deklarasi Universal
Hak Asasi Manusia (alih bahasa oleh Titis Eddy Arini dari judul asli Making Sense
of Human Rights: Philosophical Reflection on the Universal Declaration of Human
Rights). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Pasha, MK. (2002). Pendidikan Kewarganegaraan (Civics Education).
Yogyakarta: Citra Karsa mandiri.
Pranarka, A M W. 1985. Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, Jakarta: Yayasan
Proklamasi CSIS.
Sanusi, A. 2006. Meneropong Sepuluh Pilar Demokrasi Indonesia, dalam
Budimansyah, D dan Syaifullah. (Ed). 2006. Pendidikan Nilai Moral dalam
Dimensi Pendidikan Kewarganegaraan. (Menyambut 70 tahun Prof. Drs. H.A.
Kosasih Djahiri). Bandung: Laboratorium PKN FPIPS UPI.
Sapriya, dan Winataputra, U S. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan: Model
Pengembangan Materi dan Pembelajaran. Bandung: Laboratorium PKN FPIPS UPI.
Soemantri, S. 1987. Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi. Bandung:
Alumni.
133
Soeprapto. (1994). Sasaran Pendidikan Wawasan Kebangsaan. Dalam
Poespowardojo, S dan Frans M. Parera. (1994). Pendidikan Wawasan Kebangsaan:
Tantangan dan Dinamika Perjuangan Kaum Cendekiawan Indonesia. Jakarta:
kerjasama LPSP dan PT Grasindo.
Suradinata, E. 2001. Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerangka
Keutuhan NKRI. Jakarta: Suara Bebas
Surbakti, R. 1999. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Grasindo.
Thaib, D, Hamidi, J dan Huda, N. 2006. Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta:
Rajawali Press.
Thompson, B. 1997. Textbook on Constitutional and Administrative Law, edisi ke-
3, London: Blackstone Press Ltd.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia
Wahab, A. A dan Sapriya. (2011). Teori dan Landasan Pendidikan
Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta.
Winarno. (2007). Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan: Panduan
Kuliah di Perguruan Tinggi (Edisi Kedua). Jakarta: Bumi Aksara.
Winarno. (2009). Kewarganegaraan Indonesia: Dari Sosiologis menuju Yuridis.
Bandung: Alfabeta.
Yuda A R, H. 2010. Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar