ETOS KERJA DALAM ISLAM
DISUSUN OLEH :
NAMA :
1.
LAELA KURNIA VANI ISMARIKA (1723020)
KELAS : MI
A/1
DOSEN : M. AS’AD, S.Ag
MK : AGAMA
|
AMIK AKMI BATURAJA
MANAJEMEN INFORMATIKA
TAHUN AJARAN 2016/2017
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Bekerja
adalah kewajiban setiap kaum muslim. Sebab dengan bekerja setiap muslim akan
mengaktualisasikan kemuslimannya sebagai manusia, makhluk ciptaan Allah yang
paling sempurna dan mulia diatas dunia.
Jika
setiap manusia bekerja dengan baik, maka ia sudah melakukan suatu ibadah
kepadaNya. Setiap pekerjaan baik yang dilakukan muslim karena Allah, berarti ia
sudah melakukan kegiatan jihad fi sabilillah sebuah jihad tentu
memerlukan motivasi, dan motivasi membutuhkan satu pandangan hidup yang jelas
dalam memandang sesuatu. Itulah yang dimaksud dengan etos dan etos kerja
setiap muslim harus selalu dilandasi oleh Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi
setiap muttaqien. Dengan berpedoman kepada Alqur’an dan Hadist seorang
muslim akan menorehkan etos kerja nya dalam kehidupan di dunia maupun di
akhirat.
1.
Apakah itu etos kerja?
2.
Dalil mana saja yang menunjukkan mengenai etos kerja?
3.
Apa saja prinsip dasar etos kerja dalam Islam?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud degan etos kerja
2.
Untuk mengetahui macam-macam dalil yang digunakan dalam etos kerja
3.
Untuk mengetahui apa saja prinsip dasar etos kerja dalam islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pendahuluan
Agama Islam yang berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits
sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin mempunyai fungsi tidak hanya
mengatur dalam segi ibadah saja melainkan juga mengatur umat dalam memberikan
tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja.
Rasulullah SAW bersabda: “bekerjalah untuk duniamu
seakan-akan kamu hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan
kamu mati besok.” Dalam ungkapan lain dikatakan juga, “Tangan di atas
lebih baik dari pada tangan di bawah, Memikul kayu lebih mulia dari pada
mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik dari pada mukslim yang lemah. Allah
menyukai mukmin yang kuat bekerja.” Nyatanya kita kebanyakan bersikap dan
bertingkah laku justru berlawanan dengan ungkapan-ungkapan tadi.
Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita
dituntut untuk menunjukkan etos kerja yang tidak hanya rajin, gigih, setia,
akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilai-nilai Islami yang tentunya
tidak boleh melampaui rel-rel yang telah ditetapkan al-Qur’an dan as-Sunnah.
B. Pengertian Etos Kerja
dalam Islam
Ethos berasal dari bahasa Yunani yang berarti sikap,
kepribadian, watak, karakter serta keyakinan atas sesuatu.
Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi
juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Ethos dibentuk oleh berbagai kebiasaan,
pengaruh, budaya serta sistem nilai yang diyakininya. Dari kata etos ini
dikenal pula kata etika yang hamper mendekati pada pengertian akhlak atau
nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk moral sehingga dalam etos tersebut
terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuati secara
optimal lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang
sesempurna mungkin.
Dalam al-Qur’an dikenal kata itqon yang berarti
proses pekerjaan yang sungguh-sungguh, akurat dan sempurna. (An-Naml : 88).
Etos kerja seorang muslim adalah semangat untuk menapaki jalan lurus, dalam hal
mengambil keputusan pun, para pemimpin harus memegang amanah terutama para
hakim. Hakim berlandaskan pada etos jalan lurus tersebut sebagaimana Dawud
ketika ia diminta untuk memutuskan perkara yang adil dan harus didasarkan pada
nilai-nilai kebenaran, maka berilah keputusan (hukumlah) di antara kami dengan
adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjuklah (pimpinlah)
kami ke jalan yang lurus (QS. Ash Shaad : 22)
Pengertian Kerja
Kerja dalam pengertian luas adalah semua bentuk usaha
yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non-materi, intelektual
atau fisik maupun hal-hal yang berkaitan dengan masalah keduniawian atau
keakhiratan. Kamus besar bahasa Indonesia susunan WJS Poerdarminta mengemukakan
bahwa kerja adalah perbuatan melakukan sesuatu. Pekerjaan adalah sesuatu yang
dilakukan untuk mencari nafkah.
KH. Toto Tasmara mendefinisikan makan dan bekerja bagi
seorang muslim adalah suatu upaya sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh
asset dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya
sebagai hamba Allah yang menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai
bagian dari masyarakat yang terbaik atau dengan kata lain dapat juga dikatakan
bahwa dengan bekerja manusia memanusiakan dirinya.
Lebih lanjut dikatakan bekerja adalah aktivitas
dinamis dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu (jasmani dan
rohani) dan di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh
kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti pengabdian
dirinya kepada Allah SWT.
Di dalam kaitan ini, al-Qur’an banyak membicarakan
tentang aqidah dan keimanan yang diikuti oleh ayat-ayat tentang kerja, pada
bagian lain ayat tentang kerja tersebut dikaitkan dengan masalah kemaslahatan,
terkadang dikaitkan juga dengan hukuman dan pahala di dunia dan di akhirat.
Al-Qur’an juga mendeskripsikan kerja sebagai suatu etika kerja positif dan
negatif. Di dalam al-Qur’an banyak kita temui ayat tentang kerja seluruhnya
berjumlah 602 kata, bentuknya :
1) Kita temukan 22 kata ‘amilu (bekerja) di
antaranya di dalam surat al-Baqarah: 62, an-Nahl: 97, dan al-Mukmin: 40.
2) Kata ‘amal (perbuatan) kita temui sebanyak
17 kali, di antaranya surat Hud: 46, dan al-Fathir: 10.
3) Kata wa’amiluu (mereka telah mengerjakan)
kita temui sebanyak 73 kali, diantaranya surat al-Ahqaf: 19 dan an-Nur: 55.
4) Kata Ta’malun dan Ya’malun seperti
dalam surat al-Ahqaf: 90, Hud: 92.
5) Kita temukan sebanyak 330 kali kata a’maaluhum,
a’maalun, a’maluka, ‘amaluhu, ‘amalikum, ‘amalahum, ‘aamul dan amullah.
Diantaranya dalam surat Hud: 15, al-Kahf: 102, Yunus: 41, Zumar: 65, Fathir: 8,
dan at-Tur: 21.
6) Terdapat 27 kata ya’mal, ‘amiluun, ‘amilahu,
ta’mal, a’malu seperti dalam surat al-Zalzalah: 7, Yasin: 35, dan al-Ahzab:
31.
7) Disamping itu, banyak sekali ayat-ayat yang
mengandung anjuran dengan istilah seperti shana’a, yasna’un, siru fil ardhi
ibtaghu fadhillah, istabiqul khoirot, misalnya ayat-ayat tentang perintah
berulang-ulang dan sebagainya.
Di samping itu, al-Qur’an juga menyebutkan bahwa
pekerjaan merupakan bagian dari iman, pembukti bahwa adanya iman seseorang
serta menjadi ukuran pahala hukuman, Allah SWT berfirman:
“…barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya,
Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh…” (Al-Kahfi: 110)
Ada juga ayat al-Qur’an yang menunjukkan pengertian
kerja secara sempit misalnya firman Allah SWT kepada Nabi Daud As.
“ Dan Telah kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi
untuk kamu, guna memelihara kamu dalam peperanganmu…” (al-Anbiya: 80)
Dalam surah al-Jumu’ah ayat 10 Allah SWT menyatakan :
“ Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah
kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak
supaya kamu beruntung.” (al-Jumu’ah: 10)
Pengertian kerja dalam keterangan di atas, dalam Islam
amatlah luas, mencakup seluruh pengerahan potensi manusia. Adapun pengertian
kerja secara khusus adalah setiap potensi yang dikeluarkan manusia untuk
memenuhi tuntutan hidupnya berupa makanan, pakaian, tempat tinggal, dan
peningkatan taraf hidup.
Inilah pengertian kerja yang bisa dipakai dalam dunia
ketenaga-kerjaan dewasa ini, sedangkan bekerja dalam lingkup pengertian ini
adalah orang yang bekerja dengan menerima upah baik bekerja harian, maupun
bulanan dan sebagainya.
Pembatasan seperti ini didasarkan pada realitas yang
ada di negara-negara komunis maupun kapitalis yang mengklasifikasikan
masyarakat menjadi kelompok buruh dan majikan, kondisi semacam ini pada
akhirnya melahirkan kelas buruh yang seringkali memunculkan konflik antara
kelompok buruh atau pun pergerakan yang menuntut adanya perbaikan situasi
kerja, pekerja termasuk hak mereka.
Konsep klasifikasi kerja yang sedemikian sempit ini
sama sekali tidak dalam Islam, konsep kerja yang diberikan Islam memiliki
pengertian namun demikian jika menghendaki penyempitan pengertian (dengan tidak
memasukkan kategori pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan ibadah dan
aktivitas spiritual) maka pengertian kerja dapat ditarik pada garis tengah,
sehingga mencakup seluruh jenis pekerjaan yang memperoleh keuntungan (upah),
dalam pengertian ini tercakup pula para pegawai yang memperoleh gaji tetap dari
pemerintah, perusahaan swasta, dan lembaga lainnya.
Pada hakikatnya, pengertian kerja semacam ini telah
muncul secara jelas, praktek mu’amalah umat Islam sejak berabad-abad, dalam
pengertian ini memperhatikan empat macam pekerja :
1) al-Hirafiyyin; mereka yang mempunyai
lapangan kerja, seperti penjahit, tukang kayu, dan para pemilik restoran.
Dewasa ini pengertiannya menjadi lebih luas, seperti mereka yang bekerja dalam
jasa angkutan dan kuli.
2) al-Muwadzofin: mereka yang secara legal
mendapatkan gaji tetap seperti para pegawai dari suatu perusahaan dan pegawai
negeri.
3) al-Kasbah: para pekerja yang menutupi
kebutuhan makanan sehari-hari dengan cara jual beli seperti pedagang keliling.
4) al-Muzarri’un: para petani.
Pengertian tersebut tentunya berdasarkan teks hukum
Islam, diantaranya hadis rasulullah SAW dari Abdullah bin Umar bahwa Nabi SAW
bersabda, berikanlah upah pekerja sebelum kering keringat-keringatnya.
(HR. Ibn Majah, Abu Hurairah, dan Thabrani).
Pendapat atau kaidah hukum yang menyatakan : “Besar
gaji disesuaikan dengan hasil kerja.” Pendapat atau kaidah tersebut menuntun
kita dalam mengupah orang lain disesuaikan dengan porsi kerja yang dilakukan
seseorang, sehingga dapat memuaskan kedua belah pihak.
C. Etika
Kerja dalam Islam
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mencintai salah seorang
diantara kamu yang melakukan pekerjaan dengan itqon (tekun, rapi dan
teliti).” (HR. al-Baihaki)
Dalam memilih seseorang ketika akan diserahkan tugas,
rasulullah melakukannya dengan selektif. Diantaranya dilihat dari segi
keahlian, keutamaan (iman) dan kedalaman ilmunya. Beliau senantiasa mengajak
mereka agar itqon dalam bekerja.
Sebagaimana dalam awal tulisan ini dikatakan bahwa
banyak ayat al-Qur’an menyatakan kata-kata iman yang diikuti oleh amal saleh
yang orientasinya kerja dengan muatan ketaqwaan.
Penggunaan istilah perniagaan, pertanian, hutang untuk
mengungkapkan secara ukhrawi menunjukkan bagaimana kerja sebagai amal saleh
diangkatkan oleh Islam pada kedudukan terhormat.
Pandangan Islam tentang pekerjaan perlu kiranya
diperjelas dengan usaha sedalam-dalamnya. Sabda Nabi SAW yang amat terkenal
bahwa nilai-nilai suatu bentuk kerja tergantung pada niat pelakunya. Dalam
sebuah hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Rasulullah bersabda bahwa
“sesungguhnya (nilai) pekerjaan itu tergantung pada apa yang diniatkan.” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Tinggi rendahnya nilai kerja itu diperoleh seseorang
tergantung dari tinggi rendahnya niat. Niat juga merupakan dorongan batin bagi
seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu.
Nilai suatu pekerjaan tergantung kepada niat pelakunya
yang tergambar pada firman Allah SWT agar kita tidak membatalkan sedekah (amal
kebajikan) dan menyebut-nyebutnya sehingga mengakibatkan penerima merasa
tersakiti hatinya.
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)
sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima),
seperti orang yang menafkahkan hartanya Karena riya kepada manusia dan dia
tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian…” (al-Baqarah : 264)
Keterkaitan ayat-ayat di atas memberikan pengertian
bahwa taqwa merupakan dasar utama kerja, apapun bentuk dan jenis pekerjaan,
maka taqwa merupakan petunjuknya. Memisahkan antara taqwa dengan iman berarti
mengucilkan Islam dan aspek kehidupan dan membiarkan kerja berjalan pada
wilayah kemashlahatannya sendiri. Bukan kaitannya dalam pembangunan individu,
kepatuhan kepada Allah SWT serta pengembangan umat manusia.
Perlu kiranya dijelaskan disini bahwa kerja mempunyai
etika yang harus selalu diikut sertakan didalamnya, oleh karenanya kerja
merupakan bukti adanya iman dan barometer bagi pahala dan siksa. Hendaknya
setiap pekerjaan disampung mempunyai tujuan akhir berupa upah atau imbalan,
namun harus mempunyai tujuan utama, yaitu memperoleh keridhaan Allah SWT.
Prinsip inilah yang harus dipegang teguh oleh umat Islam sehingga hasil
pekerjaan mereka bermutu dan monumental sepanjang zaman.
Jika bekerja menuntut adanya sikap baik budi, jujur
dan amanah, kesesuaian upah serta tidak diperbolehkan menipu, merampas,
mengabaikan sesuatu dan semena-mena, pekerjaan harus mempunyai komitmen
terhadap agamanya, memiliki motivasi untuk menjalankan seperti
bersungguh-sungguh dalam bekerja dan selalu memperbaiki muamalahnya. Disamping
itu mereka harus mengembangkan etika yang berhubungan dengan masalah kerja
menjadi suatu tradisi kerja didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.
Adapun hal-hal yang penting tentang etika kerja yang
harus diperhatikan adalah sebagai berikut :
- Adanya keterkaitan individu terhadap Allah, kesadaran bahwa Allah melihat, mengontrol dalam kondisi apapun dan akan menghisab seluruh amal perbuatan secara adil kelak di akhirat. Kesadaran inilah yang menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik dengan relasinya. Dalam sebuah hadis rasulullah bersabda, “sebaik-baiknya pekerjaan adalah usaha seorang pekerja yang dilakukannya secara tulus.” (HR Hambali).
- Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh jenis pekerjaan. Firman Allah SWT :
“Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang kami
berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya
kamu menyembah.” (al-Baqarah: 172).
3)
Dilarang memaksakan seseorang, alat-alat produksi atau
binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara professional dan wajar.
4)
Islam tidak membolehkan pekerjaan yang mendurhakai
Allah yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang
diharamkan Allah.
5)
Professionalisme yaitu kemampuan untuk memahami dan
melakukan pekerjaan sesuai dengan prinsip-prinsip keahlian. Pekerja tidak cukup
hanya memegang teguh sifat amanah, kuat dan kreatif serta bertaqwa tetapi dia
juga mengerti dan benar-benar menguasai pekerjaannya. Tanpa professionalisme
suatu pekerjaan akan mengalami kerusakan dan kebangkrutan juga menyebabkan
menurunnya produktivitas bahkan sampai kepada kesemrautan manajemen serta
kerusakan alat-alat produksi
Islam
sangat mendorong orang-orang mukmin untuk bekerja keras, karena pada hakikatnya
kehidupan dunia ini merupakan kesempatan yang tidak akan pernah terulang untuk
berbuat kebajikan atau sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain. Ini sekaligus
untuk menguji orang-orang mukmin, siapakah diantara mereka yang paling baik dan
tekun dalam bekerja. Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Mulk ayat 2 yang artinya
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Untuk
menekankan perintah agar kita semua menggunakan kesempatan hidup ini dengan
giat bekerja dan beramal, Allah swt menegaskan bahwa tidak ada satu amal atau
satu pekerjaan pun yang terlewatkan untuk mendapatkan imbalan di hari akhir
nanti, karena semua amal dan pekerjaan kita akan disaksikan Allah swt,
Rasulullah saw dan orang-orang mukmin lainnya. Allah swt berfirman;
وَقُلْ
اعْمَلوُافَسَيَرَى اللهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّون
اِلى عالمِ الغيْبِ والشّهادةِ فَيُنبّئُكُمْ بِماكُنْتُمْ
تَعْمَلوْنَ
“Dan
Katakanlah; “Bekerjalah kamu, maka Allah swt dan Rasulullah-Nya serta
orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan
kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang gaib dan nyata, lalu diberitakan-Nya
kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”(QS. At-Taubah’; 105)
Disisi
lain, Rasulullah saw sangat menekankan kepada seluruh umatnya, agar tidak
menjadi orang yang pemalas dan orang yang suka meminta-minta. Pekerjaan apapun,
walau tampak hina dimata banyak orang, jauh lebih baik dan mulia daripada harta
yang ia peroleh dengan meminta-minta. Dalam sebuah riwayat disebutkan;
وعن حكيْم
بن حزام رضى الله عنهما عن النّبيّ صلّى الله عليْه وسلّم قال (اليد العليا خير
منْ يد السّفلى، وابْدأ بمنْ تعول وخيْر الصّدقة عنْ ظهر غنى ومنْ يسْتعْففْ يعفّه
الله ومنْ يسْتغْن يغْنه الله) متفق عليه ,والفظ للبخارى
“Dari
Hakim putra Hizam, ra., dari Rasulullah saw., beliau bersabda; “Tangan yang di
atas lebih baik dari tangan yang di bawah, dahulukanlah orang yang menjadi
tanggunganmu. Dan sebaik-baiknya sedekah itu ialah lebihnya kebutuhan sendiri.
Dan barang siapa memelihara kehormatannya, maka Allah akan memeliharanya. Dan
barang siapa mencukupkan akan dirinya, maka Allah akan beri kecukupan padanya.”
(H.R Bukhari)
Perbuatan
suka memberi atau enggan meminta-minta dalam memenuhi kebutuhan hidup,
sangatlah dipuji oleh agama. Hal ini jelas dikatakan Nabi SAW dalam hadis di
atas bahwa Nabi mencela orang yang suka meminta-minta (mengemis) karena
perbuatan tersebut merendahkan martabat kehormatan manusia. Padahal Allah
sendiri sudah memuliakan manusia, seperti terungkap melalui firman-Nya :
وَلَقَدْ
كَرَمْنَا بَنِى اَدَم َوَحَمْلنَاهُمْ فىِ اْلبَرِّ وَاْلبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ
مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَنْ خَلَقْنَا تَفْضِيْلاً
“Dan
sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka di daratan
dan di lautan. Kami berikan mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang
telah Kami ciptakan.” (Q.S Al-Isra’ : 70)
Dalam
sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Dari Abu Hurairah r.a berkata,
Rasulullah SAW telah bersabda : Orang mu’min yang memiliki keimanan yang kuat
lebih Allah cintai daripada yang lemah imannya. Bahwa keimanan yang kuat itu
akan menerbitkan kebaikan dalam segala hal. Kejarlah (sukailah) pekerjaan yang
bermanfaat dan mintalah pertolongan kepada Allah. Janganlah lemah berkemauan
untuk bekerja. Jika suatu hal yang jelek yang tidak disenangi menimpa engkau
janganlah engkau ucapkan : Seandainya aku kerjakan begitu, takkan jadi begini,
tetapi katakanlah (pandanglah) sesungguhnya yang demikian itu sudah ketentuan
Allah. Dia berbuat apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya ucapan “seandainya” itu
adalah pembukaan pekerjaan setan.” (H.R Muslim) mengisyaratkan bahwa Nabi
Muhammad SAW memerintahkan tentang tiga hal, yaitu : menguatkan keimanan,
melakukan hal yang bermanfaat, dan memohon pertolongan kepada Allah. Di samping
itu beliau melarang berbuat dua hal, yaitu: menjadi lemah, dan menyesali apa
yang telah menimpa diri dari sesuatu yang tidak disukai, sehingga mengatakan :
“Seandainya aku lakukan begitu, tak akan terjadi begini.”
Islam
senantiasa mengajarkan kepada umatnya agar berusaha untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Tidak dibenarkan seorang muslim berpangku tangan saja atau berdoa
mengharap rezeki datang dari langit tanpa mengiringinya dengan usaha. Namun
demikian, tidak dibenarkan pula terlalu mengandalkan kemampuan diri sehingga
melupakan pertolongan Allah SWT dan tidak mau berdoa kepada-Nya
BAB II
KESIMPULAN
Ethos kerja seorang muslim ialah semangat menapaki
jalan lurus, mengharapkan ridha Allah SWT.
Etika kerja dalam Islam yang perlu diperhatikan adalah
:
(1) Adanya keterkaitan individu terhadap Allah
sehingga menuntut individu untuk bersikap cermat dan bersungguh-sungguh dalam
bekerja, berusaha keras memperoleh keridhaan Allah dan mempunyai hubungan baik
dengan relasinya.
(2) Berusaha dengan cara yang halal dalam seluruh
jenis pekerjaan.
(3) tidak memaksakan seseorang, alat-alat produksi
atau binatang dalam bekerja, semua harus dipekerjakan secara professional dan
wajar.
(4) tidak melakukan pekerjaan yang mendurhakai Allah
yang ada kaitannya dengan minuman keras, riba dan hal-hal lain yang diharamkan
Allah.
(5) Professionalisme dalam setiap pekerjaan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1990, Al-Qur’an dan Terjemahan, Depag
RI.
Anonim, 1997, Konsep dan etika kerja dalam Islam,
Almadani.
Anonim, 1990, Mengangkat Kualitas Hidup Umat,
Jakarta : Dirjen BIMAS Islam.
KH. Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja,
Jakarta : Gema Insani.
Quraish Shihab, 1998, Wawasan al-Qur’an,
Jakarta : Mizan.
Asnan Syafi’I Wagino, Menabur Mutiara Hikmah,
Jakarta : Mizan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar